Sebenarnya hal ini pernah dibahas di buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas III SMA dan selain itu bahkan pernah ku tulis antara lain di
>>48, tapi karena kelihatannya banyak yang antara: tidak tahu, tidak peduli, atau bahkan memilih tidak mengikuti, maka mungkin ada baiknya kutulis saja di sini, toh selain itu ada permintaan juga.
Perhatikan kalimat2 berikut:
1. Rumah ini mau dijual.
2. Pencuri itu berhasil ditangkap polisi.
Berasa ada yang aneh? Harusnya sih tidak (karena kalau sudah berasa maka tidak ada gunanya ini ditulis). Di kalimat pertama, sebenarnya yang mau tentunya bukan rumahnya, tapi penggunaan "rumah ini mau" menandakan bahwa yang berkehendak adalah rumahnya, jadi bukankah itu aneh? Di kalimat kedua, sebenarnya yang mempunyai keberhasilan adalah polisinya, bukan pencurinya, tapi karena bentuknya seperti itu, seolah-olah pencurinya yang berhasil.
Waktu itu sih, saat pelajaran ini diberikan ke murid-murid banyak yang protes, alasannya karena "toh sudah biasa demikian". Ini keberatan jenis pertama, yang pada dasarnya adalah perdebatan antara
*prescriptive vs descriptive grammar*, yaitu apakah suatu tata bahasa merupakan aturan yang harus ditaati atau hanyalah penjelasan cara orang memakainya, jadi tidak harus ditaati. Saya sendiri lebih cenderung ke yang
*prescriptive* karena kalau aturan diubah seenaknya oleh masyarakat, berarti itu kan main hakim sendiri. Yang berhak mengubah aturan sebenarnya kan antara: masyarakat dengan suara bulat atau pihak berwenang. Karena kalau aturan itu diubah seenaknya, bagaimana cara orang lain tahu aturan mana yang berlaku? Agar aturan itu dapat ditaati oleh semua pihak, tentunya harus secara resmi diberlakukan.
Di tempat lain ada yang memberikan pandangan bahwa penggunaan kata "mau" itu bukanlah kata kerja, melainkan kata kerja pendamping (auxiliary verb) yang fungsinya adalah menandakan
*aspect* dari kalimat itu. Entah aspect itu bahasa Indonesia apa, tapi secara praktis maksudnya secara khusus terhadap kata "mau" adalah bahwa mau itu menandakan masa depan yang artinya adalah "akan". Dalam kalimat seperti "dia sudah sekarat dan mau mati", pendapat ini bisa diterima, tapi dalam kalimat di atas ini tidak bisa diterima karena 2 alasan:
1. toh ada yang memang "mau", yaitu pemiliknya, jadi sepertinya ini gabungan dari: topicalisation + subject dropping + incorrect correction. Maksudnya adalah terjadi perubahan yang melalui 3 tahap, yaitu:
- mula2: "Saya mau menjual rumah ini"
- topicalisation: "Rumah ini saya mau jual" (imbuhan me- lesap)
- subject dropping: "Rumah ini mau jual"
- karena bentuk tadi ada obyek dan kata kerja, maka obyek dijadikan subyek dan bentuknya dijadikan pasif, jadinya: "Rumah ini mau dijual"
2. orang biasanya bisa menyatakan masa depan itu kalau bukan karena "biasanya terjadi demikian" berarti "karena memang direncanakan". Kalau kita mau berpendapatan bahwa "mau" menandakan masa depan, berarti harusnya karena biasanya demikian, tapi tentunya hal ini tidak berlaku di sini, jadi balik lagi ke "rencana/kehendak", dan itu sudah dijabarkan di atas.
Selain segala yang di atas, yang saya tidak setuju ada satu lagi, yaitu: kalaupun kita anggap bahkan satu saja dari kedua pendapat di atas adalah benar, yaitu bahwa: "toh semua begitu" atau "mau di sini tidak menyatakan kehendak, tapi masa depan", berarti kita menghadapai masalah
*ketidakpastian arti*, ambiguitas. Misalnya kalimat tadi: "Pencuri itu berhasil ditangkap polisi," lalu kita anggap bahwa yang berhasil itu polisi karena tidak wajar bahwa yang ditangkap itulah yang berhasil, lalu kalau mau menyatakan bahwa yang ditangkap itu memang
*berhasil* karena dia memang berrencana untuk ditangkap? Mungkin aneh tapi di cerita tentang mata-mata itu sangatlah mungkin (atau misalnya di
*Prison Break*, tapi karena saya tidak menontonnya jadi kurang tahu). Lalu kalau orang mengatakan: "Saya mau dihukum," maka seturut dengan aturan umum (yang saya tidak suka) ini biasanya maksudnya bahwa ada yang mau menghukum dia (atau dia akan menjalani hukuman), padahal secara harafiah kan artinya bahwa dia berkehendak untuk dihukum, lalu bagaimana kalau misalnya dia memang demikian? Misalnya dia insyaf jadi memilih untuk dihukum, seperti para peri rumah di cerita Harry Potter, atau mungkin memang punya kelainan....