entah

No 18-37 Semua (balik urutan) |

Rin@Rin : 2007-09-19 14:26:23 UTC+0000
diacu: >>25 >>26
Iseng nulis lagi....

Berdasarkan pengamatan selama beberapa tahun terakhir, entah mengapa orang Indonesia zaman sekarang mempunyai kecenderungan *memisahkan imbuhan* dan *menggabungkan kata depan*. Maksudnya itu seperti contoh rekaan di bawah ini:
*Barang yang diatas meja sudah di ambil.*

Apakah anda termasuk salah satunya?
Rin@Rin : 2007-09-19 18:53:07 UTC+0000
diacu: >>20 >>23
Ah bingung.
Sebenarnya sesuai dengan perjanjian yang namanya Tuition Grant Agreement, saya diwajibkan bekerja 3 tahun di perusahaan Singapura, tapi saya tidak mau, bukan karena saya malas, tetapi karena setelah mendengar dan mengalami sendiri yang namanya bekerja di bidang keinsinyuran (Inggrisnya: Engineering), saya menyadari bahwa pekerjaan seperti itu tidak cocok dengan saya. Ingin rasanya sekolah lagi, tapi entah mengapa semua yang pernah ngomong tentang hal setelah S1 tidak pernah menganggap sekolah lagi sebagai suatu pilihan, selalu hanya ada 2 pilihan:
1. bekerja: padahal ga cocok dengan pekerjaannya
2. lanjut kuliah: pada akhirnya setelah lanjut kan tetap di bidang itu juga, jadi sama aja, ga cocok
jadi maunya:
3. balik sekolah lagi ganti bidang yang lain: tapi kan sekarang sudah terikat dengan perjanjian 3 tahun.
Ah, bingungnya.... :(
asa@Rin : 2007-09-20 02:47:15 UTC+0000
diacu: >>21
>>19
kalo ambil s2 ato s3 ga bisa ganti bidang yah? seti bisa pindah dr MSE ke SCE tuh :P
kan byk jg yg s1nya entah apa dan s2nya bisnis
Rin@Rin : 2007-09-20 08:53:11 UTC+0000
>>20
Dari teknik yang satu ke teknik yang lain masih umum, karena masih mirip.
Dari yang berbau teknik ke yang berbau ekonomi masih umum, karena yang dibisniskan bisa aja hal2 yang berbau teknik.
Tapi saya dari teknik mau pindah ke seni, ini yang susah....
Setiawan@Rin : 2007-09-23 07:13:30 UTC+0000
asa salah info. Ku masih di MSE. Cuma kantorku saja yang di SCE :P
Setiawan@Rin : 2007-09-23 07:14:50 UTC+0000
diacu: >>24
>>19
Kejarlah apa yang kamu suka. Tuition grant kan bisa didelay. Kalau suka bljr ya lanjut bljr aja.
Rin@Rin : 2007-09-23 10:12:15 UTC+0000
>>23
Untuk delay mahal....
tania@Rin : 2007-09-23 13:14:05 UTC+0000
diacu: >>27
>>18
ku ga termasuk ^^
tp ini ga cuma terjadi belakangan ini (bbrp tahun terakhir). pa2 & ma2ku n org2 lain yg dr generasi lalu jg kuperhatiin ky gt.
mgkn mereka lupa pelajaran SD ttg yg mana (di antara imbuhan 'di-' dan preposisi 'di') yg mesti digabung dan mana yg mesti dipisah dg kata yg mengikutinya.
yuku@Rin : 2007-09-23 15:54:36 UTC+0000
diacu: >>27
>>18
Kalo generasi lama sih, mungkin karena dari kecil belom ada EYD,
sedangkan penentuan pisah ato sambung baru ada pas EYD (kagalah)

Selain itu, menurutku sih, kebanyakan orang belajar bahasa pertama
dari lisan, bukan tertulis, dan tidak belajar grammar juga.
jadi apa yang didengar, langsung ditulis aja.

Misalnya dulu ku sering denger orang bilang *abodemen* (subscription fee)
sehingga pas ku pertama tulis, ku tulis aja "abodemen" padahal
yang betul kan "abonemen"

[1] dan sekarang di jaman ketik, kayanya ku jadi suka salah ketik
karena kebiasaan pola jari yang ketik <d><i><spasi> jadi suka keketik itu
walau di dipakai sebagai imbuhan.

selain itu pengaruh [1] SANGAT sering tjadi saat ku ingin ketik
"bis" (kendaraan). Kalau tak hati2 hampir slalu kluarnya "bisa".
Kayanya gara2 pola ketik (irama) juga... ada yang mengalami hal serupa?
Rin@Rin : 2007-09-23 17:20:32 UTC+0000
>>25
>>26
Tentang *di*.
Boleh lah kalau tentang orang zaman dulu dimaklumi.
Boleh juga lah memaklumi kalau mengetik sesuatu yang kecil kemungkinannya diperiksa ulang, seperti chatting atau beginian.
Tp setiap kali melihat yg begituan di acara televisi atau papan2 iklan, rasanya... gmn ngomongnya, ya? Geregetan, gitu....

Tentang yang lain... hm.... ya udah deh diterima aja....
Rin@Rin : 2007-09-30 17:17:28 UTC+0000
Tulisan di bawah ini adalah terjemahan dari http://netlurker.blogspot.com/2007/10/how-self-centred-are-we.html

Seberapa egosentriskah kita?

Saat seseorang percaya akan satu hal, tidak peduli seberapa salah, biasanya kepercayaan itu sulit diubah. Perubahan akan biasanya lebih mudah terjadi kalau ada orang lain yang berusaha melakukannya (walau kadang justru menjadi lebih sulit). Biasanya, semakin berpengaruh si orang lain itu, semakin mudah perubahan itu terjadi. Jikalau kepercayaan itu adalah milik suatu kelompok—misalnya suku atau bangsa—maka kepercayaan itu menjadi lebih kuat. Semakin besar kelompoknya, semakin susah mengubahnya, karena biasanya perlu kekuatan yang lebih kuat juga. Jadi, bagaimana kalau yang percaya adalah seluruh umat manusia?

(Karena sudah banyak contoh-contoh tentang hal ini, maka saya mencoba yang tidak umum.)

Setelah menjelajahi seluruh bumi, menggali dalamnya, dan juga mencari langit, kita menyadari bahwa kitalah satu-satunya penguasa planet ini. Tidak ada satupun makhluk lain yang setingkat dengan kita, dan ini mempengaruhi cara pandang kita akan makhluk yang setingkat dengan kita. Kita sudah membayangkan banyak macam makhluk asing, tapi hampir tanpa terkecuali semuanya serupa dengan manusia, contohnya makhluk-makhluk yang ada di Star Trek. Istilah *makhluk asing* di sini juga bisa mengacu ke makhluk gaib. Anehnya, biasanya kita dan mereka bisa saling memakan makanan satunya dan juga bernapas dengan udara yang sama. Biasanya pula mereka juga makhluk berbahan dasar karbon, dan mungkin yang paling aneh adalah, biasanya bisa juga saling memadu-kasih dan bahkan punya anak! Jadi, walau mereka seharusnya adalah makhluk asing, pada dasarnya mereka cuma manusia yang agak berbeda sedikit.

Sepertinya, bangsa Eropa kuno juga berpikir bahwa yang namanya manusia adalah yang seperti mereka, jadi ketika mereka menemukan suku bangsa yang rupanya berbeda, orang-orang pribumi itu dianggap bukan manusia dan diperlakukan buruk. Keadaan ini semakin diperparah karena biasanya kebudayaannya lebih rendah.

Kita biasanya benci sendirian untuk selamanya, mungkin karena ini kita juga tidak suka menjadi satu-satunya makhluk pintar di alam semesta ini, makanya kita sering mencari makhluk asing. Tapi, kalaupun seandainya mereka itu ada, seharusnya bentuknya akan sangat berbeda dengan apa yang bisa kita bayangkan. Kalau kasus orang Eropa kuno itu terjadi lagi, mungkin justru akan susah bagi kita untuk menerima perawakan mereka itu dan akhirnya justru akan mengusir.

Jadi, walau kita tidak suka sendirian, kita juga tidak suka bertemu orang yang berbeda. Jadi mungkin keegosentrisan itu *memang sifat dasar dari umat manusia*, atau mungkin tidak, mungkin *bukan cuma manusia....*
Rin@Rin : 2007-10-03 08:00:45 UTC+0000
Iseng nulis....
Setelah kosong selama lebih dari 3 bulan akhirnya ada 1 lagu lagi tercipta, tapi seperti biasa, tidak bisa diselesaikan.
Ingin belajar musik tapi ga ada tempat belajarnya.... :(
Rin@Rin : 2007-10-07 16:41:13 UTC+0000
Di Singapura ada berbagai macam minuman:
ada teh peng, bandung, horlick, susu kacang....
ada berbagai macam sari buah seperti:
jeruk, alpukat. kelapa muda....

tapi....

Di mana yang jual *kelapa kopyor*, ya?
:S

T_T
Rin@Rin : 2007-10-10 15:31:00 UTC+0000
diacu: >>32
Tau *computer bug*, kan? Harusnya sih tahu, tapi kalau ga juga gpp. Bahasa Indonesianya apa, sih? Buat mudahnya sih biasanya tetap ditulis "bug" tp dibaca "bak", mirip aslinya. Seandainya diterjemahkan, jadi apa, ya? Karena "bug" sendiri artinya "kutu", jd bs pake kata itu, namum, menurut saya kurang tepat.
Kata "bug" sendiri bisa merupakan suata kata kerja yang berarti "mengganggu". Dari sini, "bug" sebagai kata benda bisa berarti "gangguan", karena kutu memang menggangu. Sumber masalahnya kecil, tapi akibatnya besar, itulah "bug".
Nah, bagaimana dengan "kutu"? Sayangnya kutu tidak mempunyai arti yang demikian, "kutu" ya "kutu", memang bisa mengganggu tapi tidak mirip dengan "bug", jadinya istilah "kutu" agak kurang tepat di sini. Kabar baiknya, bahasa Indonesia punya kata yang artinya mirip dengan "bug", "serangga kecil tapi mengganggu dan cocoknya diberantas".

Karena itu, marilah kita menerjemahkan "bug" dengan kata ini saja, yaitu....
*BANGSAT!*
yuku@Rin : 2007-10-10 17:46:47 UTC+0000
diacu: >>33
>>31
cape kalo tulis bangsat, panjang. Nanti ada debangsat lagi. walah.
Lagi pula, dulu guru bahasa pernah bilang, apa beda bangsat dan maling?
Jawaban: maling = tindakan mencuri. Bangsat = pelakunya.
Kalo ku sih, bug kubaca tetep BUG (seperti dalam menggebug) bukan
bag ato bak. Tetep aja bukan kutu maupun serangga.
BEberapa bulan ini, kalo mo bilang DEBUG, ku bilangnya GEBUG aja.
Sebetulnya cocok loh, GEBUG itu kan kaya "pukul dengan keras"
jadi ku mau GEBUG biar BUGnya ilang ->ku mau gebukin serangganya biar mati
heheh keren kan? :P
Rin@Rin : 2007-10-11 12:35:38 UTC+0000
>>32
Wah, kalau gitu ga usah "debangsat," tapi "bangsatnya digebug," kan lebih bagus. ^^

Mu ngomongnya "gebug", ya? Tp kebanyakan orang ngomongnya "gebuk", tuh. :(
Rin@Rin : 2007-11-23 16:37:42 UTC+0000
Pernah menerima undangan? Harusnya sih pernah.

Tujuan undangan tentu ada macam2, bisa hal yang serius bisa pula untuk yang senang2. Bentuk undangan juga ada macam2, ada yang serius ada yang *SKSD Palapa* (Sok Kenal Sok Dekat PAdahaL bukAn siaPa-siapA). Menyebut sebagai "SKSD Palapa" mungkin agak berlebih, yang penting maksudnya ada undangan yang bentuknya sangat informal dan akrab. Menurutku sih undangan seperti ini boleh-boleh saja, tetapi kalu tujuan undangannya serius, melihat undangan seperti itu malah membuat kesal.....
Rin@Rin : 2007-11-23 16:50:49 UTC+0000
Ada banyak tujuan orang menyatakan sesuatu ke orang lain dalam bentuk tertulis, contohnya ya... undangan....

Tapi ada beberapa hal yang kalau muncul di tulisan membuat saya sangat benci tulisan itu, antara lain: (hanya menyangkut tulisan bahasa Indonesia)
- Penggunaan kata-kata bahasa asing seperti "please" dan "sorry" atau yang lebih parah lagi: "plis" dan "sori" (atau "plis dong ah")
- Penggunaan kata-kata bahasa Inggris yang sebenarnya punya padanan dalam bahasa Indonesia dan juga merupakan kata yang "baru", yaitu bukan sudah dari dulu masuk, apalagi kalau bentuk aslinya atau padanan bahasa Indonesianya sangat *jauh lebih mudah dimengerti*, contoh: *presaposisi*, padahal lebih mudah mengerti *presupposition* dan *prasangka*
- Penggunaan kata-kata seperti "rubah" seperti pada contoh: "rubahlah bentuk ini...." atau "merubah A menjadi B"
- Lebih sering memisah imbuhan dibanding tidak, contoh: "di jual", "di tolak"
- Menggunakan bentuk "mau di-" di saat dimaksud adalah "mau me-", apalagi kalau dibarengi penggunaan di atas, contoh: "Saya *mau di bunuh* oleh dia"
- Menggunakan "kita" di saat yang dimaksud adalah "kami", soalnya saya kan tidak ada urusan dengan kalian kenapa harus diikutsertakan....

Tentu saja, kalau tulisan ini tidak menyangkut saya, maka tidak ada masalah bagi penulis, tapi kalau tulisan ini menyangkut saya, misalnya, ya balik lagi ke yang tadi, undangan, maka saya merasa tidak harus menjawab.
Apakah cuma saya yang merasa seperti ini? :S
yuku@Rin : 2007-11-24 06:50:09 UTC+0000
diacu: >>38
>>35
Wah, ternyata mu sebagai orang Jakarta (semoga ga salah), merasa
benci juga dengan pemakaian kami dan kita yang salah yah.
Dulu kagalah ada yang bilang, orang yang pake "kita" untuk maksud
"kami" itu karena di Jakarta istilahnya begitu.
Sama, ku juga suka ga seneng dengan istilah "kita" yang salah,
alasannya juga sama, ga ada urusan kenapa diikutsertakan...

Di lembar doa grii:
"Tulislah nama-nama dibawah ini untuk
di doakan dan di undang oleh anda"
Hebat, satu kalimat tiga salah.
Kelvin@Rin : 2007-11-26 11:48:11 UTC+0000
helo2..
aku anggota baru di meletus neyy..
salam meletus:
meletus balon hijau *DOR!!* hatiku sangat senang..
wakakakakakkk.
drop me some commentz plzz..^^.

 

Kau akan ngepos secara anonim! Boleh2 aja sih, bahkan tulis nama dan sembarang paswod pun boleh. Tapi kalo mau daftar, klik daftar

Nama Pwd gp jsp (satu nol)+(satu mpat)= +img +coret

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|