entah

No 13-32 Semua (balik urutan) |

Rin@Rin : 2007-09-15 17:27:28 UTC+0000
>>11
Pernah sih curiga begitu, energinya menghilang di getaran otot, tapi ga tau persisnya bagaimana dan juga bagaimana memastikannya di mana. Terima kasih atas informasinya.

Tapi kalau begitu, menurutku definisi usaha masih berlaku, karena tenaga dipakai untuk mengencangkan otot2 yang sudah mengendur (ada pergerakan).
RayS@Rin : 2007-09-15 18:14:40 UTC+0000
diacu: >>15
>>7
Halo Rin, wah menarik ya soalnya. Sebenernya dulu di fisika mandang usaha
dll nya secara makro mungkin. Sebenernya di setiap sel yang kerja butuh
energi juga buat macem-macem. Si sel mindah-mindahin ion Na dan K aja
harus lewat pintu sel yang butuh energi (ATP) penting waktu "mempertahankan
kondisi kontraksi", lalu untuk ngasih sinyal kontraksi perlu jg saraf yg ngalirin
sinyal (pake pintu pintu tadi jg ^^), lalu karena kepanasan akibat proses tsb,
kulit ngeluarin keringet yg butuh energi, dll...dll... Lalu kalo kelamaan otak bisa
"bosen" dan nimbulin rasa pegel/cape sentral ^^
Rin@Rin : 2007-09-16 11:03:16 UTC+0000
>>14
Bukan urusan makro atau mikro, tapi kalau kita anggap memegang benda lalu diam itu seperti batang besi sebuah derek, kan tidak perlu ada perpindahan ion, tidak perlu buka-tutup pintu sel, dan juga tidak perlu mengalirkan sinyal kontraksi. Tapi karena sebenarnya otot bekerjanya bukan seperti itu, maka butuh lah itu semua. Jadi kelihatannya kunci permasalahannya adalah otot bukan bekerja seperti tadi itu. Menurutku sih....
1peH@Rin : 2007-09-17 12:58:26 UTC+0000
diacu: >>17
>>1
Sebenarnya ada lagi sih di bahasa Indonesia (bukan Indo lho:D) yang penggunaannya ada sedikit mirip 'the', yaitu "sang". Misalnya di Inggris, "Felix the cat"
Kata 'yang' juga bisa, spt "the last chapter" atau "My house is the one with a blue door"

Rin ini cewek atau cowok ya? Kan rin bisa Rini atau Rinto. hehe...
Tp sptnya cewek sih
Rin@Rin : 2007-09-17 14:00:33 UTC+0000
>>16
Ya, benar, *si dan sang* juga mirip dalam hal itu, tapi saya lebih tertarik dengan -nya, karena juga seperti dummy pronoun. Selain itu, *si* dan *sang* itu agak susah dibahas, karena penggunaannya juga banyak berbeda dengan *the*, dan karenanya juga menjadi salah satu hal yang sangat unik dari bahasa Indonesia. Keren juga ya, ternyata bahasa kita ini mempunya hal2 yang susah dijelaskan ke pengguna bahasa yang ga ada hubungannya....

Saya.... tidak berjenis kelamin. ^^
Rin@Rin : 2007-09-19 14:26:23 UTC+0000
diacu: >>25 >>26
Iseng nulis lagi....

Berdasarkan pengamatan selama beberapa tahun terakhir, entah mengapa orang Indonesia zaman sekarang mempunyai kecenderungan *memisahkan imbuhan* dan *menggabungkan kata depan*. Maksudnya itu seperti contoh rekaan di bawah ini:
*Barang yang diatas meja sudah di ambil.*

Apakah anda termasuk salah satunya?
Rin@Rin : 2007-09-19 18:53:07 UTC+0000
diacu: >>20 >>23
Ah bingung.
Sebenarnya sesuai dengan perjanjian yang namanya Tuition Grant Agreement, saya diwajibkan bekerja 3 tahun di perusahaan Singapura, tapi saya tidak mau, bukan karena saya malas, tetapi karena setelah mendengar dan mengalami sendiri yang namanya bekerja di bidang keinsinyuran (Inggrisnya: Engineering), saya menyadari bahwa pekerjaan seperti itu tidak cocok dengan saya. Ingin rasanya sekolah lagi, tapi entah mengapa semua yang pernah ngomong tentang hal setelah S1 tidak pernah menganggap sekolah lagi sebagai suatu pilihan, selalu hanya ada 2 pilihan:
1. bekerja: padahal ga cocok dengan pekerjaannya
2. lanjut kuliah: pada akhirnya setelah lanjut kan tetap di bidang itu juga, jadi sama aja, ga cocok
jadi maunya:
3. balik sekolah lagi ganti bidang yang lain: tapi kan sekarang sudah terikat dengan perjanjian 3 tahun.
Ah, bingungnya.... :(
asa@Rin : 2007-09-20 02:47:15 UTC+0000
diacu: >>21
>>19
kalo ambil s2 ato s3 ga bisa ganti bidang yah? seti bisa pindah dr MSE ke SCE tuh :P
kan byk jg yg s1nya entah apa dan s2nya bisnis
Rin@Rin : 2007-09-20 08:53:11 UTC+0000
>>20
Dari teknik yang satu ke teknik yang lain masih umum, karena masih mirip.
Dari yang berbau teknik ke yang berbau ekonomi masih umum, karena yang dibisniskan bisa aja hal2 yang berbau teknik.
Tapi saya dari teknik mau pindah ke seni, ini yang susah....
Setiawan@Rin : 2007-09-23 07:13:30 UTC+0000
asa salah info. Ku masih di MSE. Cuma kantorku saja yang di SCE :P
Setiawan@Rin : 2007-09-23 07:14:50 UTC+0000
diacu: >>24
>>19
Kejarlah apa yang kamu suka. Tuition grant kan bisa didelay. Kalau suka bljr ya lanjut bljr aja.
Rin@Rin : 2007-09-23 10:12:15 UTC+0000
>>23
Untuk delay mahal....
tania@Rin : 2007-09-23 13:14:05 UTC+0000
diacu: >>27
>>18
ku ga termasuk ^^
tp ini ga cuma terjadi belakangan ini (bbrp tahun terakhir). pa2 & ma2ku n org2 lain yg dr generasi lalu jg kuperhatiin ky gt.
mgkn mereka lupa pelajaran SD ttg yg mana (di antara imbuhan 'di-' dan preposisi 'di') yg mesti digabung dan mana yg mesti dipisah dg kata yg mengikutinya.
yuku@Rin : 2007-09-23 15:54:36 UTC+0000
diacu: >>27
>>18
Kalo generasi lama sih, mungkin karena dari kecil belom ada EYD,
sedangkan penentuan pisah ato sambung baru ada pas EYD (kagalah)

Selain itu, menurutku sih, kebanyakan orang belajar bahasa pertama
dari lisan, bukan tertulis, dan tidak belajar grammar juga.
jadi apa yang didengar, langsung ditulis aja.

Misalnya dulu ku sering denger orang bilang *abodemen* (subscription fee)
sehingga pas ku pertama tulis, ku tulis aja "abodemen" padahal
yang betul kan "abonemen"

[1] dan sekarang di jaman ketik, kayanya ku jadi suka salah ketik
karena kebiasaan pola jari yang ketik <d><i><spasi> jadi suka keketik itu
walau di dipakai sebagai imbuhan.

selain itu pengaruh [1] SANGAT sering tjadi saat ku ingin ketik
"bis" (kendaraan). Kalau tak hati2 hampir slalu kluarnya "bisa".
Kayanya gara2 pola ketik (irama) juga... ada yang mengalami hal serupa?
Rin@Rin : 2007-09-23 17:20:32 UTC+0000
>>25
>>26
Tentang *di*.
Boleh lah kalau tentang orang zaman dulu dimaklumi.
Boleh juga lah memaklumi kalau mengetik sesuatu yang kecil kemungkinannya diperiksa ulang, seperti chatting atau beginian.
Tp setiap kali melihat yg begituan di acara televisi atau papan2 iklan, rasanya... gmn ngomongnya, ya? Geregetan, gitu....

Tentang yang lain... hm.... ya udah deh diterima aja....
Rin@Rin : 2007-09-30 17:17:28 UTC+0000
Tulisan di bawah ini adalah terjemahan dari http://netlurker.blogspot.com/2007/10/how-self-centred-are-we.html

Seberapa egosentriskah kita?

Saat seseorang percaya akan satu hal, tidak peduli seberapa salah, biasanya kepercayaan itu sulit diubah. Perubahan akan biasanya lebih mudah terjadi kalau ada orang lain yang berusaha melakukannya (walau kadang justru menjadi lebih sulit). Biasanya, semakin berpengaruh si orang lain itu, semakin mudah perubahan itu terjadi. Jikalau kepercayaan itu adalah milik suatu kelompok—misalnya suku atau bangsa—maka kepercayaan itu menjadi lebih kuat. Semakin besar kelompoknya, semakin susah mengubahnya, karena biasanya perlu kekuatan yang lebih kuat juga. Jadi, bagaimana kalau yang percaya adalah seluruh umat manusia?

(Karena sudah banyak contoh-contoh tentang hal ini, maka saya mencoba yang tidak umum.)

Setelah menjelajahi seluruh bumi, menggali dalamnya, dan juga mencari langit, kita menyadari bahwa kitalah satu-satunya penguasa planet ini. Tidak ada satupun makhluk lain yang setingkat dengan kita, dan ini mempengaruhi cara pandang kita akan makhluk yang setingkat dengan kita. Kita sudah membayangkan banyak macam makhluk asing, tapi hampir tanpa terkecuali semuanya serupa dengan manusia, contohnya makhluk-makhluk yang ada di Star Trek. Istilah *makhluk asing* di sini juga bisa mengacu ke makhluk gaib. Anehnya, biasanya kita dan mereka bisa saling memakan makanan satunya dan juga bernapas dengan udara yang sama. Biasanya pula mereka juga makhluk berbahan dasar karbon, dan mungkin yang paling aneh adalah, biasanya bisa juga saling memadu-kasih dan bahkan punya anak! Jadi, walau mereka seharusnya adalah makhluk asing, pada dasarnya mereka cuma manusia yang agak berbeda sedikit.

Sepertinya, bangsa Eropa kuno juga berpikir bahwa yang namanya manusia adalah yang seperti mereka, jadi ketika mereka menemukan suku bangsa yang rupanya berbeda, orang-orang pribumi itu dianggap bukan manusia dan diperlakukan buruk. Keadaan ini semakin diperparah karena biasanya kebudayaannya lebih rendah.

Kita biasanya benci sendirian untuk selamanya, mungkin karena ini kita juga tidak suka menjadi satu-satunya makhluk pintar di alam semesta ini, makanya kita sering mencari makhluk asing. Tapi, kalaupun seandainya mereka itu ada, seharusnya bentuknya akan sangat berbeda dengan apa yang bisa kita bayangkan. Kalau kasus orang Eropa kuno itu terjadi lagi, mungkin justru akan susah bagi kita untuk menerima perawakan mereka itu dan akhirnya justru akan mengusir.

Jadi, walau kita tidak suka sendirian, kita juga tidak suka bertemu orang yang berbeda. Jadi mungkin keegosentrisan itu *memang sifat dasar dari umat manusia*, atau mungkin tidak, mungkin *bukan cuma manusia....*
Rin@Rin : 2007-10-03 08:00:45 UTC+0000
Iseng nulis....
Setelah kosong selama lebih dari 3 bulan akhirnya ada 1 lagu lagi tercipta, tapi seperti biasa, tidak bisa diselesaikan.
Ingin belajar musik tapi ga ada tempat belajarnya.... :(
Rin@Rin : 2007-10-07 16:41:13 UTC+0000
Di Singapura ada berbagai macam minuman:
ada teh peng, bandung, horlick, susu kacang....
ada berbagai macam sari buah seperti:
jeruk, alpukat. kelapa muda....

tapi....

Di mana yang jual *kelapa kopyor*, ya?
:S

T_T
Rin@Rin : 2007-10-10 15:31:00 UTC+0000
diacu: >>32
Tau *computer bug*, kan? Harusnya sih tahu, tapi kalau ga juga gpp. Bahasa Indonesianya apa, sih? Buat mudahnya sih biasanya tetap ditulis "bug" tp dibaca "bak", mirip aslinya. Seandainya diterjemahkan, jadi apa, ya? Karena "bug" sendiri artinya "kutu", jd bs pake kata itu, namum, menurut saya kurang tepat.
Kata "bug" sendiri bisa merupakan suata kata kerja yang berarti "mengganggu". Dari sini, "bug" sebagai kata benda bisa berarti "gangguan", karena kutu memang menggangu. Sumber masalahnya kecil, tapi akibatnya besar, itulah "bug".
Nah, bagaimana dengan "kutu"? Sayangnya kutu tidak mempunyai arti yang demikian, "kutu" ya "kutu", memang bisa mengganggu tapi tidak mirip dengan "bug", jadinya istilah "kutu" agak kurang tepat di sini. Kabar baiknya, bahasa Indonesia punya kata yang artinya mirip dengan "bug", "serangga kecil tapi mengganggu dan cocoknya diberantas".

Karena itu, marilah kita menerjemahkan "bug" dengan kata ini saja, yaitu....
*BANGSAT!*
yuku@Rin : 2007-10-10 17:46:47 UTC+0000
diacu: >>33
>>31
cape kalo tulis bangsat, panjang. Nanti ada debangsat lagi. walah.
Lagi pula, dulu guru bahasa pernah bilang, apa beda bangsat dan maling?
Jawaban: maling = tindakan mencuri. Bangsat = pelakunya.
Kalo ku sih, bug kubaca tetep BUG (seperti dalam menggebug) bukan
bag ato bak. Tetep aja bukan kutu maupun serangga.
BEberapa bulan ini, kalo mo bilang DEBUG, ku bilangnya GEBUG aja.
Sebetulnya cocok loh, GEBUG itu kan kaya "pukul dengan keras"
jadi ku mau GEBUG biar BUGnya ilang ->ku mau gebukin serangganya biar mati
heheh keren kan? :P

 

Kau akan ngepos secara anonim! Boleh2 aja sih, bahkan tulis nama dan sembarang paswod pun boleh. Tapi kalo mau daftar, klik daftar

Nama Pwd gp jsp (dua mpat)+(dua dua)= +img +coret

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|