entah

No 199-218 No 179-198 Semua (balik urutan) |

Rin@Rin : 2008-09-24 06:47:52 UTC+0000
>>197
Sayangnya aku termasuk yang lama, makanya jadi kesal.
Bisa aja aku jawab dengan asumsi yang orangnya tanya itu kapan "go to bed"-nya, tapi apa guna dan relevansinya? Misalkan aku dengan jujur jawab, "Jam 11," padahal tidurnya sendiri sebenarnya jam 2, terus kan jawaban tadi sebenarnya tidak menjawab apa2. Sedangkan kalau aku menjawab "Jam 2," nanti dimarahin karena telah bergadang....
Menjawab lengkap sebenarnya sih bisa, tapi itu kalau orangnya mau mendengarkan jawaban sepanjang itu.... Repot....

>>198
Weleh, itu mah kamunya sengaja mengartikan "jam" ke arti yang satunya lagi. ^^;
XD
(not that I'm always not guilty of the same thing....)
Rin@Rin : 2008-09-25 03:25:42 UTC+0000
Tau "Project 10^100"?

Kalau belum tau, maka bukalah: http://www.project10tothe100.com/
Sederhananya, kalau merasa punya ide yang dapat mengubah dunia, maka kirimlah!


Nah, sekarang uneg-unegnya....
1. Aku membuka website itu dari Singapura dan disuguhi dengan bahasa Mandarin. Tentu saja google cukup canggih untuk tahu orang yang membuka ada di mana, jadi kelihatannya bahasa yang ditampilkan itu bergantung ke tempatnya, dan di sini bs terlihat bahwa bagi google, Singapura berbahasa Mandarin. Cukup aneh karena padahal banyak juga orang Singapura yang tidak bisa membaca bahasa Mandarin dan selain itu bahasa resmi negara adalah Inggris.
Bukti ketidakacuhan orang Amerika Serikat akan Asia Tenggara?
2. Di halaman faq-nya ada kata: "in appropriate", padahal seharusnya "inappropriate". Apakah google tidak memakai pemeriksa ejaan yang bagus? Menimbang bahwa "in appropriate" itu bisa benar tergantung dari kata berikutnya, berarti kesalahan ada karena tidak memakai piranti lunak yang cukup canggih, padahal google rasanya cukup canggih, deh....
Rin@Rin : 2008-10-02 12:57:51 UTC+0000
Baru sadar akan hal ini:

Biasanya masing-masing orang mempunyai kesukaannya sendiri-sendiri. Ambil contoh misalnya lagu. Ada orang yang pekerjaannya menyanyi di acara-acara. Mungkin di acara itu dia akan mendapat permintaan akan lagu tertentu yang katakanlah dia tidak suka. Lalu bagaimana?
a. bisa saja dia menolak, tapi resiko dianggap tidak profesional
b. bisa saja dia menyanyi itu, tapi berarti dia harus tau lagunya. Kalau dia tidak suka, harusnya susah untuk hapal kecuali sudah latihan, tapi itu artinya selama latihan dia terpaksa menyanyikan lagu yang tidak ia sukai.

Secara umum biasanya penyanyi-penyanyi bisa menyanyikan berbagai lagu, dan sebagai manusia mungkin tidak suka akan kebanyakan lagu itu, jadi mereka terpaksa menderita karenanya. Di sisi lain, belum tentu lagu yang sudah dilatih akan diminta, jadi hasil latihannya mubazir....
Repot juga ya....
Rin@Rin : 2008-10-04 05:59:36 UTC+0000
diacu: >>203
Belum lama ini di Pasuruan ada insiden Zakat.
Jadi singkatnya ada orang kaya mau bagi-bagi uang ke orang miskin, tapi karena orang-orangnya pada rakus jadinya berebut, jadi banyak yang mati. Karenanya maka si orang kaya dihukum penjara.
Menurutku ini tidak adil, orang bagi-bagi uang kan maksudnya baik, sedangkan orang kan tidak boleh rakus, kenapa yang baik malah dihukum?

Tapi aku bukan mau bicarakan insidennya.
Sebenarnya kenapa sih si orang kaya bagi-bagi uang? Karena ada hukum Zakat. Nah, apa itu Zakat? Sederhananya ini adalah hukum dalam agama Islam yang mengharuskan orang yang kaya untuk membagikan uangnya ke orang yang lebih miskin.

Bagaimana dengan Kekristenan?
Dalam kitab Kisah Para Rasul, jemaat yang mula-mula banyak yang menjual hartanya dan membagikan hasilnya ke orang-orang miskin. Tidak ada hukum yang secara spesifik menyuruh mereka begitu, berarti ini semua akibat dari ajaran yang mereka terima. Ajaran yang paling berpengaruh tentulah dari Yesus yang Diurapi.

Sekarang kita balik ke perjanjian lama. Di perjanjian lama ada hukum perpuluhan, hukum ini meminta orang menyerahkan sepersepuluh penghasilannya ke Bait Allah. Hasil pengumpulan tentunya akan dibagi-bagikan ke yang membutuhkan, jadi bahkan dari dulu ada ajaran untuk menyeratakan pendapatan.
Nota bene: perjanjian lama adalah ajaran orang Yahudi.

Dari sini bisa dilihat bahwa orang Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki ajaran untuk meratakan pendapatan, dan mengingat bahwa mereka mengakui menyembah dewa yang sama (setidaknya yang lebih muda mengakui demikian), maka ya tidak terlalu aneh.

Nah, sebenernya ini ajaran apa sih? Tentu saja ajaran Komunisme! Jadi bisa dibilang bahwa Allah mengajarkan komunisme dan Yesus adalah tokoh komunis.
Kata siapa komunis harus atheis!
yuku@Rin : 2008-10-06 04:22:02 UTC+0000
diacu: >>204
>>202 Nah, sebenernya ini ajaran apa sih? Tentu saja ajaran Komunisme!

Ini kebalik ato sama aja sih? Apakah komunisme muncul karena pembuatnya terpengaruh
ajaran dari Yahudi atau Kristen atau Islam? Atau kebetulan aja sama?

Atau mungkin kah, tadinya mereka memang suka berbagi2, namun karena pembagian itu
ada yang merasa iri, rebutan, dsb, mereka berhenti berbagi2, kemudian supaya tak berhenti
maka lebih baik dianjurkan atau disuruh aja.

Mengenai persepuluhan, setauku itu dipakai untuk memelihara Bait Allah dan untuk
menghidupi orang Lewi yang kerjaannya di sana (jadi ga dapat harta dari usaha lain).
Rin@Rin : 2008-10-06 06:41:51 UTC+0000
>>203
Sekitar 5 tahun lalu pendeta yang sedang berkunjung ke gerejaku berkhotbah antara lain bahwa Marx meniru cara hidup jemaat mula-mula, tapi sekarang aku ragu apakah dia memang meniru itu (kalaupun dia meniru rasanya tidak akan mengakui demikian).

Aku tidak tahu motivasi tiap2 orang yang mengajari komunisme, yang jelas komunisme sangat menggiurkan bagi rakyat miskin, soalnya mereka jadi lebih kaya. Karena itulah, orang bisa memanfaatkan ini untuk ambil kekuasaan; bisa dibilang, "Orang jahat memanfaatkan penderitaan rakyat". Karena sering begitu, orang asosiasinya komunisme = jahat, padahal tidak harus begitu.
Yah kayanya sih kalau seperti Uni Soviet itu "menyuruh berbagi" maksudnya supaya mendapat dukungan rakyat miskin.

Setahuku setidaknya harta bait Allah jg diberikan ke janda miskin, dengan catatan bahwa dulu wanita dianggap tidak mungkin berpenghasilan besar dan harus didukung suami, makanya yang disebut itu "janda miskin".

Bingung? Maaf kalau bingung, soalnya bingung jg bagaimana menulisnya supaya jelas....
Rin@Rin : 2008-10-13 03:10:22 UTC+0000
Microsoft Office

Paket ini datang dengan berbagai produk, nah aku sih melihat ada 3 kelompok:
1. Word, Excel, Power Point
Kayanya kebanyakan orang tau ini apa dan banyak juga yang pake

2. Outlook
Rasanya jumlah penggunanya lebih sedikit dari yg di atas, tapi banyak juga yang pake. Yang susah dari ini, biasanya untuk bisa pake butuh pengetahuan agak lebih.

3. Access, Front Page
Hanya orang2 tertentu saja yang akan pake.

Jadi terpikir:
Biasanya kalau Office dipasang dengan "Typical", semua produk di atas akan dipasang. Masalah yang kulihat sih, orang2 yang akan menekan tombol "Typical" itu (atau apapun nama lainnya) biasanya melakukan itu karena merasa gaptek jadi tidak mau menekan custom, padahal, sepertinya hanya orang2 yang tidak merasa gaptek yang akan butuh memakai produk di kelompok 3 ataupun mungkin 2 (tp Outlook cuma repot di awalnya saja).
Mungkin harusnya Typical hanya install yang kelompok 1 saja ya, yang memang typical dipakai....
Rin@Rin : 2008-10-14 00:04:04 UTC+0000
diacu: >>207
Wah, baru tau bahwa ternyata Opera (browser) sekarang tersedia dalam bahasa Indonesia. Belum dicoba sih....
Rin@Rin : 2008-10-14 00:05:06 UTC+0000
>>206
Eh, atau mungkin lebih tepatnya, "dengan resmi" (karena kayanya dulu sudah pernah ada tapi belum resmi, hehe....)
Rin@Rin : 2008-10-14 13:56:10 UTC+0000
"Kamu kan kaya, ko tidak bisa bayar?"
"Kamu kan pintar, ko begini saja tidak bisa jawab?"
"Kamu kan kuat, ko tidak mau bantu?"

Sering orang bilang begitu, padahal orang yang dibilang demikian sering tidak pernah mengatakan bahwa mereka demikian; bahkan malah mereka mungkin justru berpikir mereka tidak begitu. Jadi seringkali sebenarnya hanya orang lainlah yang *menganggap* demikian. Mungkin ada baiknya kita tidak sembarangan menganggap orang lain itu kaya/pintar/kuat.

Di sisi lain, ada juga orang bisa bilang:
"Loh, kamu kan pintar, ko bisa salah begini?"
Sehubungan dengan hal ini, sebenarnya Dumbledore (tokoh di Harry Potter) justru mengatakan bahwa karena dia lebih pintar dari orang lain maka kesalahan yang dia perbuat malah cenderung lebih besar.

Sepertinya sih memang begitu, dan sehubungan dengan kekayaan juga kelihatannya orang kaya sekali rugi bisa sedemikian banyaknya sampai bunuh diri, sedangkan orang miskin malah mungkin tahan lama.

Mungkin ada baiknya bagi orang yang tidak punya untuk lebih menerima keadaan mereka yang punya sedangkan yang punya lebih banyak berbagi dengan yang tidak punya.
Rin@Rin : 2008-10-14 14:12:54 UTC+0000
Di antara: kaya, pintar, dan kuat, aku merasa kalau orang kuat itu paling "berhak" sombong, dilanjutkan orang kaya, dan terakhir orang pintar.

Kalau misalnya orang pintar tidak mau mengajari, sering dibilang, "Sombong amat sih, ga mau ngajarin!" tapi kalau dia mau mengajari, malah dibilang, "Tau deh yang pintar...."

Kalau orang kaya tidak mau berbagi biasanya dibilang "Pelit kamu, ah!" tapi kalau dia berbagi seringkali orang berterima kasih.

Tapi kalau orang kuat lain lagi. Rasanya orang kuat boleh memaksa orang lain untuk kuat juga tanpa ada yang menentang. Contohnya: walaupun standar nilai olah raga "memaksa" murid untuk mendapat nilai hanya 5-6 dengan 7 hampir tidak ada, tidak ada yang menentang (padahal kalau misalnya matematika nilainya segituan kan pasti gurunya kena masalah). Kalau orang bilang "Nih aku bisa, masa kamu tidak bisa" biasanya orang anggap memang begitulah sewajarnya.
Rin@Rin : 2008-10-20 02:00:44 UTC+0000
Bingung, masih susah membedakan antara bahasa Cinanya 50 sen dan 80 sen. :(
Sebenarnya bedanya cukup banyak, sih, tapi tetap saja sulit membedakannya....
Rin@Rin : 2008-10-23 10:04:24 UTC+0000
diacu: >>212
Sering terjadi percakapan yang kalau disederhanakan jadi seperti ini:

A: Kamu melakukan XYZ!
B: Ga usah ngomong gitu deh, toh kamu jg melakukan
atau
B: Ga usah ngomong gitu deh, toh banyak yang melakukan

Sebenarnya, jadi mengapa kalau B itu bukan satu-satunya yang melakukan? Ada orang lain yang melakukan atau tidakpun tidak akan mengubah kenyataan bahwa B melakukan XYZ tersebut. Kalau XYZ itu sesuatu yang salah dan bisa membuat pelakunya dihukum, berarti si B mungkin dihukum. Banyak yang melakukan bukan berarti B jadi tidak dihukum, bedanya ya mungkin saja karena kebetulan atau apa semua yang lain itu malah tidak dihukum tapi cuma B yang dihukum. Bisa saja B terpilih secara acak dan akhirnya dihukum untuk memberi contoh pada yang lain dan yang lain akhirnya insyaf dan malah tidak dihukum.
Adil? Entah, mungkin juga tidak adil, tapi toh kenyataannya adalah kalau B melakukan dan akhirnya dihukum ya berarti dia dihukum, ada atau tidak orang lain yang melakukan tidak akan mengubah kenyataan tersebut.
yuku@Rin : 2008-10-24 12:35:03 UTC+0000
diacu: >>213
>>211
Tadinya kepikirannya karena B menganggap bagi dia sendiri cukup aman, misalnya
kalau memang bisa dihukum, karena dia liat banyak orang yang ga dihukum, maka resikonya
jadi kecil.

Misalnya hukumannya denda 10 000 dolar, dan dari pengamatan dia yang dihukum
karena melakukan cuma 1 dari 1 000 orang, jadi bagi dia resikonya cuma setara dengan
10 dolar. Kalau yang dilakukannya bernilai lebih dari 10 dolar, untung dong.

Ini juga suka terjadi, misalnya, waktu itu pernah ada orang ke luar negeri, tapi
takut bawa uang tunai banyak2. Misalnya dia mau bawa 1000 dolar saja, dari 2000 yang dia
punya karena takut kalau hilang. Padahal di sana akan butuh lebih dari 1000 dolar,
jadi dia berencana ambil di ATM di sana, yang kena biaya tambahan 30 dolar karena
di luar negeri.

Kalau dia takut hilang 1000 dolar, padahal seandainya resiko hilang hanya 0.5%, resiko itu
cuma senilai 5 dolar, lebih baik daripada kehilangan 30 dolar karena ambil di ATM itu.

Begitulah, sering kali orang nga mau rugi sesuatu yang besar (makanya ada asuransi)
padahal kalo menang undian yang besar mau.

(ini jadi topik lain yah)
Rin@Rin : 2008-10-26 13:49:57 UTC+0000
>>212
Iya, kayanya jadi topik lain. Sebenarnya mungkin juga cara ngomongnya salah, sih.
Maksud awalnya tuh begini: orang yang dituduh salah bisa saja membenarkan dirinya dengan menunjukkan kesalahan orang lain atau bukan dia satu-satunya yang bersalah, tapi toh pembenaran dengan cara tersebut tidak akan menyelamatkan dirinya kalau sampai dihakimi.

Yah, menurutku yang kamu bilang itu benar, memang itu bisa jadi alasan dia melakukan itu, tapi setuju juga kan bahwa kalau alasannya begitu maka alasannya tersebut tidak akan menyelamatkan dirinya kalau sampai tertangkap?
Rin@Rin : 2008-11-14 02:55:49 UTC+0000
Orang Mesir adalah salah satu bangsa yang gemar memasukkan nama dewa ke nama orang.
nota bene: perbedaan kecil pada ejaan bukan berarti merupakan kata yang berbeda, perpindahan dari satu bahasa ke bahasa lain bisa mengakibatkan perubahan pada ejaan)

Di antara para Firaun ada yang namanya "Ramses" dan "Tutmoses". "Ra" dan "Thoth" itu nama dewa, sedangkan "moses" itu sederhananya berarti anak, jadi "Ramses" itu artinya "anak Ra"
"Moses" itu sendiri mirip dengan nama seorang tokoh besar yang dibesarkan di Mesir, jadi jangan2 dia juga dulu namanya mengandung nama dewa.

Sebagai perbandingan, dulu para Paus Katholik yang awal tidak mengganti nama saat naik tahta, namun suatu kali yang naik adalah orang bernama "Merkurius". Kelihatannya kedua orang ini sadar bahwa tidak pantas pemimpin agama memiliki nama yang merupakan dewa agama lain, jadinya nama itu dihilangkan.
Rin@Rin : 2008-11-15 17:04:07 UTC+0000
Terakhir pulang ke Indonesia, aku baru menyadari bahwa orang Indonesia sekarang menyebut "Cina" sebagai "Caina", jadi mirip dengan ujaran orang Amerika, dan menulis "Cina" sebagai "China", dengan huruf "h", juga jadi seperti cara orang Amerika menulisnya.

Aku sudah tahu bahwa orang Indonesia gemar sekalai memakai istilah bahasa Inggris, tapi rupanya akhirnya nama negarapun ikut-ikutan menjadi korban.
Banyak sih dalam kata-kata dan nama yang dipakai orang Indonesia yang sebenarnya kurang tepat, tapi kalau istilah itu sudah dipakai lama memang susah mengubahnya, jadi untuk hal-hal tersebut bisa dimaklumi, tapi ko ini malah jadi lebih kacau...?

Kelihatannya satu-satunya yang justru dipertahankan supaya tidak mirip bahasa Inggris justru "bahasa", sampai sekarang masih aja ada orang Indonesia yang kalau berbicara bahasa Inggris memakai istilah "bahasa" saat yang dimaksud adalah bahasa Indonesia.
Rin@Rin : 2008-11-15 17:23:58 UTC+0000
diacu: >>217
Dalam bahasa Inggris ada singkatan "IMHO", In My Humble Opinion.
Ada lagi "my 2 cents", yaitu mengatakan bahwa pendapatnya hanya senilai 2 sen, maksudnya "tidak berharga".

Aku merasa ada yang salah. Kalau memang orang itu merasa bahwa pendapatkan tidak berharga, rasanya dia tidak akan menyatakan itu. Atau bisa juga dilihat dari sisi lain, yaitu kalau memang pendapat itu tidak berharga, buat apa digubris? Buat apa mengacuhkannya? Lebih baik dilupakan dan cari yang memang berharga.

Ini mirip juga dengan budaya basa-basi yang katanya "budaya Asia". Misalnya, kita diajari:
1. kalau ditawari makanan harus menolak misal dengan alasan sudah kenyang
2. kalau dipuji harus berlaga bilang tidak apa-apa
3. kalau didatangi tamu walau sebenarnya tidak mau menjamu harus pura-pura sukarela memberi makanan
dll

Banyak orang berpendapat itu untuk kesopanan, atau demi menjalin persahabatan, menurutku ini hanyalah kebohongan.

Di sisi lain, ada juga pembahasan misal ada kasus yang sebenarnya ceritanya ada banyak versi, tapi sederhananya begini:
Misal ada orang yang dikejar-kejar orang lain lalu kita tahu bahwa dia dikejar dan tau dia sembunyi di mana. Kalau seandainya pengejarnya bertanya pada kita tentang keberadaan orang itu, apa jawab kita? Berbohongkah? Memberi tahu tapi resikonya dia mati?

Aku beberapa kali mendengar pembahasan tentang kasus seperti ini. Ada yang bilang kalau bohong, itu namanya "white lie", "bohong yang benar". Ada juga yang mengatakan bohong selalu salah. Yah banyaklah pendapatnya, tapi aku tidak sedang membahas itu jadi sampai di sini saja dulu.

Balik ke masalah awal. Bohong yang seperti barusan itu sering dibicarakan, tapi aku tidak pernah mendengar ada pembahasan tentang kebohongan seperti di atas. Mungkin karena tidak ada merasa itu termasuk kebohongan?
Menulis/mengetik/berbicara butuh waktu dan tenaga. Katanya "time is money", menyatakan bahwa waktu itu berharga. Kalau ada orang yang sampai memberi pendapat, jelas dia tidak menganggap pendapatnya itu hanya bernilai 2 sen.
Makanya aku tidak mau bilang "my 2 cents" ataupun "IMHO", paling2 hanya "IMO".

- Rin

(catatan: kalau aku menekan tombol "gp" itu bukan maksudnya ga penting, tapi supaya tidak terlalu memenuhi halaman 'u'.
yuku@Rin : 2008-11-16 03:35:28 UTC+0000
diacu: >>218
>>216
Ada 1 cara yang kadang ku lakukan supaya ga bohong dan dia ga *mati* juga, yaitu
"ga boleh tau" atau "ga mau kasih tau" ... tapi resikonya ditanggung sendiri heheh.

Kalo mengenai 2 sen dsb, itu kan pembicara bilang bahwa mungkin yang dia katakan
bernilai 2 sen bagi pendengar, belum tentu bagi dia sendiri. Sedangkan 2 sen itu belom tentu
ga berharga. Hal yang *keliatannya ga berharga* itu bisa jadi berharga pada saat tertentu,
misalnya uda belanja 10.02 dolar tapi cuma ada 10 dolar uang kertas dan 2 sen itu :D
Rin@Rin : 2008-11-17 02:19:55 UTC+0000
>>217
Yah aku tau sih ada jawaban seperti itu juga, tapi seperti kubilang, aku ga mau bahas itu di sana karena bisa jadi panjang sendiri.

Apa mu yakin itu bagi pendengar? Rasanya sih dari yang kutangkap dan juga kalau cari di internet itu bahwa bagi pembicara itu tidak berharga jadi dianalogikan dengan 2 sen.
Contohmu itu agak ga nyambung karena jadinya terbalik, soalnya aslinya itu dianggap tidak berharga jadi dimiripkan dengan 2 sen sedangkan di contohnya 2 sen lalu bagaimana pendapatnya. Gitu, kan?

 

Kau akan ngepos secara anonim! Boleh2 aja sih, bahkan tulis nama dan sembarang paswod pun boleh. Tapi kalo mau daftar, klik daftar

Nama Pwd gp jsp (tiga tuju)+(lima tiga)= +img +coret

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|