Berebut Warisan
Kompas,
http://kompas.com/kompas-cetak/0801/15/utama/4160577.htm
Rubrik ini edisi 27 Mei 2006 berjudul "Maaf, Pak Harto". Saya mempertanyakan pemberitaan seputar sakitnya Pak Harto yang, maaf, absurd.
Absurditas pertama, kondisi kesehatan pasien yang mestinya rahasia malah diumbar-umbar. Pak Harto memang milik publik, tetapi ngana ya ngana ning aja ngana-lah.
Hati trenyuh menyaksikan tayangan yang memperlihatkan tubuh dan wajah Pak Harto dalam kondisi mengenaskan di-close up saat dipindahkan perawat. Apa itu perlu?
Televisi di sini suka menayangkan wajah dan kondisi tubuh korban terorisme, baik yang tewas maupun yang cedera. Di Inggris tak satu televisi pun menayangkan gambar korban setelah teroris mengebom subway dan bus di London.
Pers Amerika Serikat memberitakan "mantan Presiden Ronald Reagan yang telah lama dirawat karena menderita parkinson kini dalam kondisi kritis". Demi alasan kemanusiaan, media tak menayangkan fisik dan wajah Reagan.
Kondisi Pak Harto yang labil diungkapkan pers dengan bertalu-talu, mendetail, live, dan berembel-embel breaking news. Jangan salah, pemeo bad news is good news boleh-boleh saja dalam era persaingan ketat industri pers.
Berkat hiruk-pikuk peliputan itu, banyak yang lupa soal-soal yang lebih substantif, seperti kelangkaan minyak tanah dan elpiji atau protes pembuat tahu dan tempe.
Ada baiknya dokter memperlakukan informasi penyakit Pak Harto dengan prinsip need to know basis saja. Sampaikan saja informasi yang bersifat umum karena audiens toh enggak ngerti istilah-istilah kesehatan yang rumit.
Absurditas kedua, sejumlah kalangan berlomba bicara tentang jasa dan dosa Pak Harto serta permintaan maaf bagi dirinya. Ia jelas berjasa bagi republik sejak era perjuangan sampai jadi presiden.
Ia angkat senjata melawan Belanda dan Jepang, menumpas berbagai pemberontakan, dan berperan penting setelah peristiwa G30S. Tanda jasa yang diperoleh Pak Harto bertumpuk-tumpuk.
Ia Bapak Pembangunan, Bapak ASEAN, dan merebut berbagai penghargaan internasional. Makanya ganjil jika masih saja ada yang berusaha meyakinkan publik bahwa Pak Harto berjasa.
Lebih ganjil lagi mereka yang mohon maaf atas nama Pak Harto. Padahal Pak Harto—bukan mereka—yang mesti menanggung beban penyidikan korupsi yang dituduhkan pengadilan sesuai Ketetapan MPR XI/MPR/1998.
Banyak yang enggak ngerti juga kok ada pihak-pihak yang berbicara soal win-win solution atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam istilah ABG sekarang, "Ada udang di balik bakwan ya?"
Lagi pula kurang layak berbicara tentang kasus korupsi Pak Harto yang sedang diopname. Lebih baik tangkap dan adili dulu koruptor-koruptor yang suka pura-pura diopname.
Dan yang superganjil mereka yang bersikap playing God alias merasa lebih tahu daripada Yang di Atas. Mereka mengatakan, "Lupakanlah dosa-dosa Pak Harto."
Sebagian besar rakyat tak peduli Pak Harto berdosa atau tidak. Apa yang dikerjakan orang kuat Orde Baru yang berkuasa selama sekitar 32 tahun itu tak berpengaruh banyak terhadap mereka.
Saya tanya PRT di rumah yang umurnya baru 20 tahunan, "Menurut kamu Pak Harto dosa enggak?" Dia menjawab, "Wah, saya enggak tahu, Pak."
Anda mendapat jawaban yang sama kalau bertanya kepada petani di Gunung Kidul, nelayan di Tomohon, atau penjual mi instan di Danau Toba. Namun, kalau bertanya kepada keluarga korban kekerasan Orde Baru sejak 1965, ceritanya pasti lain.
Dua absurditas terjadi karena sistem politik yang didominasi eksekutif yang bercorak feodalistis. Para pendukung Pak Harto terbentuk jadi grup penghamba yang mempraktikkan budaya kultus individu.
Wajar mereka jadi Soehartois sejati karena memetik keuntungan politik, ekonomi, dan budaya dari Pak Harto. Dalam istilah Jawa, pejah gesang ndérék Pak Harto.
Ambil contoh bagaimana mereka menelan bulat-bulat bahasa politik Pak Harto. Di zaman Orde Baru semua pejabat pusat dan daerah suka mengucapkan sebuah kata sakti: "daripada".
Pak Harto mengucapkan kata itu karena dari sononya emang udah gitu akibat pengaruh bahasa Belanda. Kata "daripada" yang keluar dari mulut Pak Harto ibarat jeda (dalam bahasa Inggris "of the") sebelum ia meloncat ke susunan kata yang lain.
Namun, para pejabat itu sekadar mau mirip Pak Harto walau tahu itu melanggar tata bahasa. Begitu Pak Harto lengser ing keprabon, tak ada lagi pejabat yang suka mengucapkan kata "daripada".
Dan absurditas mereka sesungguhnya menyinggung perasaan kelompok yang jumlahnya juga banyak, yakni pendukung Bung Karno. Kelompok ini belum lupa perlakuan mereka terhadap Proklamator di saat terakhir kekuasaannya.
Bung Karno dikurung, tak disembuhkan penyakitnya, dan dilarang menemui keluarganya. Saat ayahnya diasingkan ke Bogor dan Bu Fat dijaga ketat di Jalan Sriwijaya, anak-anak Bung Karno diberikan waktu cuma seminggu untuk keluar dari Istana.
Bukan berarti mereka ingin balas dendam. Jangan-jangan mereka bersikap "kami sudah memaafkan, tetapi tak bisa melupakan".
Jadi, wahai kaum Soehartois, biasa-biasa aja deh. Orang Inggris bilang, "Act normal."
Jangan kayak anak-anak yang tak ditinggali wasiat dari sang ayah yang lagi gering. Itulah anak-anak manja yang tawuran karena berebut warisan yang nilainya tak ada.