Kopasan dari sumber lain. Hak cipta (kalau ada) milik sumber

No 1-8 Semua (balik urutan) |

yuku@arsip : 2008-01-23 03:14:02 UTC+0000
Ini adalah tempat kopas2 berita atau artikel dari tempat lain. Sumber harus selalu
dicantumkan! Sebisa mungkin berupa link balik. Tujuannya supaya kalau sumber
sudah punah, masih ada kopasan.
yuku@arsip : 2008-01-23 03:14:51 UTC+0000
Berebut Warisan
Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0801/15/utama/4160577.htm

Rubrik ini edisi 27 Mei 2006 berjudul "Maaf, Pak Harto". Saya mempertanyakan pemberitaan seputar sakitnya Pak Harto yang, maaf, absurd.

Absurditas pertama, kondisi kesehatan pasien yang mestinya rahasia malah diumbar-umbar. Pak Harto memang milik publik, tetapi ngana ya ngana ning aja ngana-lah.

Hati trenyuh menyaksikan tayangan yang memperlihatkan tubuh dan wajah Pak Harto dalam kondisi mengenaskan di-close up saat dipindahkan perawat. Apa itu perlu?

Televisi di sini suka menayangkan wajah dan kondisi tubuh korban terorisme, baik yang tewas maupun yang cedera. Di Inggris tak satu televisi pun menayangkan gambar korban setelah teroris mengebom subway dan bus di London.

Pers Amerika Serikat memberitakan "mantan Presiden Ronald Reagan yang telah lama dirawat karena menderita parkinson kini dalam kondisi kritis". Demi alasan kemanusiaan, media tak menayangkan fisik dan wajah Reagan.

Kondisi Pak Harto yang labil diungkapkan pers dengan bertalu-talu, mendetail, live, dan berembel-embel breaking news. Jangan salah, pemeo bad news is good news boleh-boleh saja dalam era persaingan ketat industri pers.

Berkat hiruk-pikuk peliputan itu, banyak yang lupa soal-soal yang lebih substantif, seperti kelangkaan minyak tanah dan elpiji atau protes pembuat tahu dan tempe.

Ada baiknya dokter memperlakukan informasi penyakit Pak Harto dengan prinsip need to know basis saja. Sampaikan saja informasi yang bersifat umum karena audiens toh enggak ngerti istilah-istilah kesehatan yang rumit.

Absurditas kedua, sejumlah kalangan berlomba bicara tentang jasa dan dosa Pak Harto serta permintaan maaf bagi dirinya. Ia jelas berjasa bagi republik sejak era perjuangan sampai jadi presiden.

Ia angkat senjata melawan Belanda dan Jepang, menumpas berbagai pemberontakan, dan berperan penting setelah peristiwa G30S. Tanda jasa yang diperoleh Pak Harto bertumpuk-tumpuk.

Ia Bapak Pembangunan, Bapak ASEAN, dan merebut berbagai penghargaan internasional. Makanya ganjil jika masih saja ada yang berusaha meyakinkan publik bahwa Pak Harto berjasa.

Lebih ganjil lagi mereka yang mohon maaf atas nama Pak Harto. Padahal Pak Harto—bukan mereka—yang mesti menanggung beban penyidikan korupsi yang dituduhkan pengadilan sesuai Ketetapan MPR XI/MPR/1998.

Banyak yang enggak ngerti juga kok ada pihak-pihak yang berbicara soal win-win solution atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam istilah ABG sekarang, "Ada udang di balik bakwan ya?"

Lagi pula kurang layak berbicara tentang kasus korupsi Pak Harto yang sedang diopname. Lebih baik tangkap dan adili dulu koruptor-koruptor yang suka pura-pura diopname.

Dan yang superganjil mereka yang bersikap playing God alias merasa lebih tahu daripada Yang di Atas. Mereka mengatakan, "Lupakanlah dosa-dosa Pak Harto."

Sebagian besar rakyat tak peduli Pak Harto berdosa atau tidak. Apa yang dikerjakan orang kuat Orde Baru yang berkuasa selama sekitar 32 tahun itu tak berpengaruh banyak terhadap mereka.

Saya tanya PRT di rumah yang umurnya baru 20 tahunan, "Menurut kamu Pak Harto dosa enggak?" Dia menjawab, "Wah, saya enggak tahu, Pak."

Anda mendapat jawaban yang sama kalau bertanya kepada petani di Gunung Kidul, nelayan di Tomohon, atau penjual mi instan di Danau Toba. Namun, kalau bertanya kepada keluarga korban kekerasan Orde Baru sejak 1965, ceritanya pasti lain.

Dua absurditas terjadi karena sistem politik yang didominasi eksekutif yang bercorak feodalistis. Para pendukung Pak Harto terbentuk jadi grup penghamba yang mempraktikkan budaya kultus individu.

Wajar mereka jadi Soehartois sejati karena memetik keuntungan politik, ekonomi, dan budaya dari Pak Harto. Dalam istilah Jawa, pejah gesang ndérék Pak Harto.

Ambil contoh bagaimana mereka menelan bulat-bulat bahasa politik Pak Harto. Di zaman Orde Baru semua pejabat pusat dan daerah suka mengucapkan sebuah kata sakti: "daripada".

Pak Harto mengucapkan kata itu karena dari sononya emang udah gitu akibat pengaruh bahasa Belanda. Kata "daripada" yang keluar dari mulut Pak Harto ibarat jeda (dalam bahasa Inggris "of the") sebelum ia meloncat ke susunan kata yang lain.

Namun, para pejabat itu sekadar mau mirip Pak Harto walau tahu itu melanggar tata bahasa. Begitu Pak Harto lengser ing keprabon, tak ada lagi pejabat yang suka mengucapkan kata "daripada".

Dan absurditas mereka sesungguhnya menyinggung perasaan kelompok yang jumlahnya juga banyak, yakni pendukung Bung Karno. Kelompok ini belum lupa perlakuan mereka terhadap Proklamator di saat terakhir kekuasaannya.

Bung Karno dikurung, tak disembuhkan penyakitnya, dan dilarang menemui keluarganya. Saat ayahnya diasingkan ke Bogor dan Bu Fat dijaga ketat di Jalan Sriwijaya, anak-anak Bung Karno diberikan waktu cuma seminggu untuk keluar dari Istana.

Bukan berarti mereka ingin balas dendam. Jangan-jangan mereka bersikap "kami sudah memaafkan, tetapi tak bisa melupakan".

Jadi, wahai kaum Soehartois, biasa-biasa aja deh. Orang Inggris bilang, "Act normal."

Jangan kayak anak-anak yang tak ditinggali wasiat dari sang ayah yang lagi gering. Itulah anak-anak manja yang tawuran karena berebut warisan yang nilainya tak ada.
Rin@arsip : 2008-01-23 12:08:59 UTC+0000
diacu: >>4 >>9 >>10
>>2
Apa itu, "ngana ya ngana ning aja ngana-lah"??

Apa itu "trenyuh"? Apa itu "pemeo"?
Kalau "trenyuh" dan "pameo" pernah denger (walau ga tau artinya).

Kenapa pakai kata "audiens", apa kasus "enggak ngerti istilah-istilah ... yang rumit," tidak berlaku juga di sini?
yuku@arsip : 2008-02-02 10:33:24 UTC+0000
>>3
Walah, direpli di sini, mana tau..
Kalo ga salah trenyuh itu artinya hati hancur.
Audiens itu pemirsa bukan sih?
Jadi inget ada yang terjemahin "prestasi" jadi "prestation" :D
arsip@arsip : 2008-02-02 11:44:26 UTC+0000
diacu: >>6 >>10
Genit Inggris-Inggrisan (1)
Kolom Murbandono HS, 24 Juni 2005
http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kolom_murbandono050623

Di Indonesia genit inggris-inggrisan untuk urusan berkata-kata dan menulis itu agaknya sudah diterima sebagian masyarakat dengan riang gembira. Mungkin karena bangsa Indonesia termasuk bangsa yang suka berkelakar. "I don't care with my popularity!" ujar Presiden SBY.

*Genit*
Anak-anak muda kita sudah barang tentu lebih ahli dalam hal tersebut. Genit inggris-inggrisan mereka habis-habisan. Disebut genit, pertama, sebab perilaku dalam berbahasa yang merusak bahasa Indonesia itu diucapkan atau ditulis di Indonesia, dalam rangka Indonesia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia pula. Kedua, penggunaan kosakata-kosakata Inggris atau berbau Inggris itu mubazir, sebab selalu tersedia kosakata Indonesianya. Ketiga, tidak jarang penggunaan kosakata asing tersebut dengan pemaknaan yang keliru pula.

Di hampir semua koran dan majalah Indonesia selalu kita jumpai tulisan-tulisan yang genit inggris-inggrisan. Hampir di semua rubriknya. Apalagi di ruang opini (pendapat) nya. Rata-rata penulisnya - tidak semua tentunya, perlu penelitian sekolahan - menggunakan keprigelan menulis gaya kegemaran anak-anak ingusan tersebut. Hampir tiap hari selalu bisa ditemukan hal ihwal dan perkara tersebut. Contohnya terlalu banyak untuk disebutkan. Tak ada hari pers media Indonesia - cetak, elektronik dan sibernetika - yang terbit, berbunyi, dan tertayang tanpa dikotori tulisan atau bunyi yang genit inggris-inggrisan.

*Berbagai kelas*
Segala sesuatu ada kelasnya. Begitu pula kegenitan inggris-inggrisan. Ada kelas ringan, kelas bulu, kelas berat, dan kelas mahaberat.

Termasuk kegenitan kelas ringan adalah penggunaan si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, dan sejenisnya. Mereka termasuk kelas "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". Semua kosakata jenis ini hampir selalu ada kosakata Indonesianya, dalam arti enak dan pas.

Sungguh menakjubkan! Sebab budidaya merusak bahasa Indonesia lewat tulisan dan bunyi tersebut pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar. Mereka dimuat, dibunyikan dan dipertontonkan oleh pers media Indonesia dan disebarluaskan ke masyarakat sebagai bacaan, bahan dengar atau bahan tontonan orang-orang yang berbahasa Indonesia. Pers media di Indonesia sendiri merupakan perusahaan pers yang dimiliki dan diurus oleh orang-orang Indonesia. Para pengguna pers Indonesia bukan hanya orang-orang Indonesia. Pers di Indonesia juga dibaca oleh orang-orang asing yang sudah mahir atau masih belajar bahasa Indonesia. Jadi, semua tulisan dan risalah yang dimuat di dan disebarluaskan oleh pers Indonesia tersebut mempunyai tanggung jawab keIndonesiaan yang serius. Tanggung jawab bagi peradaban Indonesia dan bahasa Indonesia. Dan terutama tanggung jawab di depan kesopansantunan berbahasa yang agung dan patut.

*Merisaukan*
Lepas dari isi dan pesan dari sekian banyak risalah di pers Indonesia yang perlu setulus hati dihargai sebab harus diakui rata-rata bermutu dan berguna bagi bangsa Indonesia, tetapi mereka menjadi merisaukan, sebab dengan kegenitan inggris-inggrisan itu langsung bias dirasakan kerendahdirian Nusantara di hadapan Barat. Lewat bahasa!

Dari berjubelnya penggunaan kosakata Inggris yang jelas-jelas ada kosakata Indonesianya, kita mungkin menjadi sedih dan bertanya, apa sejatinya yang nista dalam kosakata Indonesia? Apakah bahasa Indonesia amat melarat sehingga tidak punya kosakata-kosakata sendiri yang mampu menyampaikan isi dan pesan suatu risalah, sehingga harus merelakan diri dikotori oleh kata-kata Inggris? Atau, apakah harga satu kata Indonesia satu rupiah dan harga satu kata Inggris satu dolar AS?

Itu semua memaksa kelahiran catatan-catatan kecil di dalam kolom ini. Apakah akan ada gunanya. Sebab suasana "merusak bahasa Indonesia" itu sudah amat meluas dan berlarut-larut di Indonesia. Apa pun, kolom ini bermaksud menunjukkan dan membuktikan kepada semua orang dewasa bahwa seluruh kosakata Inggris yang digunakan dan membanjiri pers media Indonesia itu tidak ada nilai lebihnya bagi bahasa dan kebudayaan serta peradaban Indonesia. Dengan mudah sekali semua kosakata asing itu bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan.

Untuk itu, dalam kolom Genit Inggris-inggrisan bagian kedua, akan kami sajikan berbagai contoh nyata mengenai apa yang tadi disampaikan.
arsip@arsip : 2008-02-02 11:46:36 UTC+0000
diacu: >>7
Genit Inggris-Inggrisan (2)
Kolom L. Murbandono HS, 30 Juni 2005
Lanjutan >>5. http://www.ranesi.nl/tema/budaya/Kolom_Murbandono050701

Pada kolom lalu telah dijanjikan, akan disampaikan contoh nyata genit Inggris-Inggrisan dalam berbahasa Indonesia.

*Kosakata sendiri*
Sebelum contoh-contoh nyata itu disajikan, perlu disampaikan, penelusuran genit Inggris-Inggrisan ini mungkin mengesankan "sok suci bersih murni mau bebas dari unsur asing secara mutlak", yang tidak terhindarkan. Tapi itu samasekali bukan maksudnya. Itu soal terpisah lebih luas, yang tidak dikupas dalam kolom yang terbatas ini.

Jadi, penelusuran ini sekedar cara untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa bahasa Indonesia mempunyai kosakata sendiri yang sanggup mengalihkan kosakata asing secara tepat, benar, baik, dan indah. Dengan mudah banyak sekali kosakata asing bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan. Juga, akan ditunjukkan, dalam penggunaan kata asing atau berbau asing itupun, di samping hanya mempersulit hal yang sejatinya gampang, juga bisa ditemukan kekeliruan pula.

*Contoh nyata*
Dalam kerangka contoh nyata itu, kita tengok sebuah tulisan di ruang pendapat - biasa disebut opini - di sebuah surat kabar terkemuka di ibukota.

Di situ antara lain kita temukan bahasa tulisan dalam bahasa Indonesia yang berbunyi : "poverty targeting policy". Mengapa tidak ditulis, "kebijakan mengurus kemiskinan"? Apakah "kebijakan mengurus kemiskinan" lebih jelek katimbang "poverty targeting policy"?

Masih dalam tulisan tersebut, juga kita jumpai bukan kata asing asli, tetapi kata bentukan dari kata asing yang tidak terlalu berguna, sebab justru bisa menjadi alat pembenaran untuk kemalasan membuka kamus. Yaitu, asal ada kata Inggris berakhiran "tion" tinggal ganti saja dengan "si" atau "asi", maka lahirlah kata-kata blasteran yang "megah". Eksekusi! Dalam bahasa Indonesia, tersedia kosakatanya yang lebih bermartabat. Yaitu, pelaksanaan!

Juga kita temukan penyakit sekelas yang tadi. Yaitu, kata: limitasi. Mengapa tidak keterbatasan atau batas? Apalagi, penggunaan kata "limitasi" dalam bagian kalimat "Betapa pun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita ..." adalah keliru. Limitasi bukanlah keterbatasan atau hal yang terbatas, melainkan pembatasan, yakni tindakan melakukan sesuatu agar pihak lain menjadi terbatas. Jadi, kalau tidak berkenan menggunakan "keterbatasan" atau "batas" ya kalau masih mau inggris-inggrisan juga, minimal "limit" - ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah contoh genit inggris-inggrisan, dan, keliru pula.

Kosa-kosakata "enggan Nusantara" lain yang kita temukan dalam tulisan tersebut adalah kompensasi (pengganti kerugian), anonim (tidak dikenal), targeting (mengarah, mengarahkan, menuju, menujukan, mengurus, mengelola, dll ), disagregasi (kerincian), indikator (penanda), debatable (bisa dipertengkarkan), dan dispute (pertengkaran, perselisihan, percekcokan, keributan, kehebohan, kegemparan, dll).

Di samping itu, juga disajikan sebuah kalimat yang sejatinya mengandung pesan yang amat bermutu. Kalimat tersebut berbunyi "Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan." Kosakata yang kita persoalkan adalah "instant". Mengapa tidak "seketika"? Bahkan kalau mau lebih berani, kata "proses" itupun sejatinya masih bisa diganti dengan berbagai kosakata lain Indonesia semisal perjalanan, penggarapan, penanganan, pengolahan, dll.

*Asli maupun bentukan*
Selanjutnya kita temukan berbagai ungkapan Inggris asli maupun bentukan, yaitu (1) program-program targeting (rencana-rencana pengurusan), (2) necessary condition (persyaratan penting) (3) sufficient condition (persyaratan secukupnya), dan (4) indikator lokal (penanda setempat).

Dan tentu saja, juga kita temukan kosakata berbau Inggris dan gado-gado, ialah analisis (penguraian), mainstreaming (pengarus-utamaan), karakter (sifat, watak), mendistribusikan (membagi-bagikan, menyebarkan), "random" ("acak"), probabilitas (kemungkinan), dan masih banyak lagi.

*Abjad kosakata*
Dalam Genit Inggris-inggrisan mendatang, akan kita susun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-inggrisan tersebut. Tentu saja hanya bagian kecil dari contoh-contoh yang bisa seabrek-abrek, sejauh yang nyata muncul dalam persuratkabaran dan penerangan di Indonesia sendiri.
arsip@arsip : 2008-02-02 11:48:01 UTC+0000
diacu: >>8
Genit Inggris-Inggrisan (3)
Kolom L. Murbandodno, HS, 07 Juli 2005
Lanjutan >>6. http://www.ranesi.nl/tema/budaya/genit_genitan_kolommung050707

Pada kolom bagian lalu dijanjikan ihwal upaya menyusun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-Inggrisan. Janji ini belum bisa dtepati kali ini. Kita perhatikan lebih dulu tanggapan salah seorang pengunjung situs Ranesi.

*Tanggapan pengunjung situs*
Tanggapannya: kata 'dapat diperdebatkan' akan lebih tepat sebagai terjemahan dari debatable. Kata 'debat' itu sudah meng-Indonesia kok, seperti misalnya dalam ungkapan 'debat kusir'. Terlebih lagi, kata 'bertengkar' tidak sama dengan 'berdebat', bukan?

Tanggapan itu benar dan baik. Ya, debat memang tidak sama dengan tengkar. Lalu, apa padanan Nusantaranya yang paling tepat untuk kata "debat"? Rembug? Adu-kata? Gumul-pendapat? Memang, tidak mudah. Justru kosakata sejenis "debat" dan semacam itulah yang akan menjadi PR jangka panjang bahasa Indonesia urusan kosakata Nusantara. Dalam rangka (istilah gagahnya adalah "konteks") ini, mungkin masih sulit untuk "menusantarakan" kosakata-kosakata semisal: diskusi, politik, demokrasi, pers, media, jurnalisme, radio, televisi, film, ekonomi, nasional, frustrasi, bank, teknik, mekanisme, stasiun, bus, taksi, faktor, dan kata-kata lain sejenis yang bisa buanyaak sekali.

Namun, sekali lagi, wacana perkara genit Inggris-Ingrisan ini tidak bermaksud berurusan dengan "pemurnian" bahasa. Sebab, apakah mungkin? Tidak ada bahasa di dunia ini yang seratus persen suci murni. Apalagi bahasa Indonesia kita yang tercinta. "Ketidakmurnian"-nya habis-habisan dalam hal menelan dan memamahbiak unsur-unsur asing.

*Sudah rusak*
Jadi, soalnya lebih berurusan dengan ketidakwajaran dalam berbahasa Indonesia. Genit Inggris-Inggrisan di bidang perkabaran dan penerangan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan. Sudah bukan taraf perbuatan anak manja atau remaja ingusan lagi. Genit Inggris-Inggrisan dan kebanggaan berasing-asing ria secara berlebihan dalam berbahasa Indonesia yang tanpa guna itu, sudah amat mengerikan. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit peragawati nan cantik, maka kulit tersebut sudah penuh dengan panu dan kudis. Jadi, sungguh-sungguh menimbulkan rasa iba. Kasihan sekali.

Hal yang menimbulkan rasa iba nan kasihan sekali itu, contohnya bisa kita saksikan dalam tulisan seorang terpelajar di sebuah koran ibukota. Hampir di setiap paragrafnya bisa kita temukan panu dan kudis tersebut, misalnya: negosiasi, money politic, kondisi, sentralistik, direct democracy, kolusi, money politic, konsesi-konsesi, konsolidasi, momentum, strategis, eksistensi , agenda, kongres, fenomena, elitis, sentralistis, kolektif, intensif, konteks, relasi, personifikasi, krusial, eksekutif, legitimator, kontrol, aspirasi, kader, berpotensi, aktif, eksekutif, produktif, relasi, kategori, antagonis, posisi, kontrol, hegemonik, stempel, akomodasionis, kondisi, "karismanya", oligarki, demokrasi, politik, konkret, proses, demokrasi lokal, barometer, elitisme, sentralisme, proses, civil society, potensi, partisipasi, dimobilisasi, emosi, psikologis, prosesi, demokrasi, elektoral, sosial, strategis, desentralisasi, aspirasi, kaderisasi, simpatisan, sosialisasi, aksi-aksi, dan eksistensi.

*Apa alasannya?*
Mengapa kosakata-kosakata di atas ibarat panu dan kudis yang menimbulkan rasa iba? Sebab semua kata tersebut, bisa dengan mudah ditemukan kosakata Nusantaranya dengan cukup mudah, tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan. (Akan diberikan dalam penyusunan menurut abjad kosakata Nusantara di bagian lain catatan kecil ini.)

Soalnya, mengapa? Buat apa mengembangbiakkan kegemaran memalukan yang menyebarkan panu-panu dan kudis-kudis itu? Mungkin bukan sekedar karena bahasa Inggris dianggap lebih hebat katimbang bahasa Indonesia, melainkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan dan irit. Maka, tidak tega membuang kosakata-kosakata asing. Ini kemungkinan pertama.

Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Karena itu, kita merdeka memperlakukan bahasa kita dan bahasa asing sesuka hati. Mengapa tidak boleh mencampuraduk mereka menjadi bahasa gado-gado?

Ketiga, dugaan bahwa dengan bahasa gado-gado itu bahasa Indonesia akan tampil lebih indah, lebih meyakinkan, dan lebih beradab.

Namun, untunglah. Apanya yang untung? Silakan ikuti bagian mendatang genit Inggris-Inggrisan ini.
arsip@arsip : 2008-02-02 11:49:33 UTC+0000
Genit Inggris-Inggrisan (4)
Kolom L. Murbandono HS, 14 Juli 2005
Lanjutan >>7. http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kolom_mung050714

Bagian lalu kolom ini memaparkan, genit Inggris-Inggrisan dalam berbahasa Indonesia sudah amat parah. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit, maka genit Inggris-Inggrisan adalah penyebar panu dan kudis. Toh dikatakan, masih untung! Untungnya, genit Inggris-Inggrisan itu - sudah sedikit disinggung dalam bagian terdahulu juga - ternyata berkelas-kelas. Paling sedikit tiga kelas. Ada kelas ringan, kelas berat, dan kelas algojo alias kelas dasamuka. Tapi mohon jangan lupa, apapun kelasnya, semua kosakata Inggris dan berbau Inggris itu rata-rata ada kosakata Nusantaranya.

*Tiga kelas*
Kelas ringan adalah gemar menggunakan kata berakhiran si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, tas-tas-tas, dan sejenisnya. Yang masuk kelas ini adalah kaum yang takluk kepada falsafah gombal yang berbunyi "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". Rumitnya, ini sejatinya kebingungan kelas gajah. Politik bahasa! Bahkan "kitab suci" bahasa Indonesia - Kamus Besar Bahasa Indonesia - itupun, memasukkan kosakata-kosakata sejenis itu sebagai lema.

Tergolong kelas berat adalah kosakata berbau Inggris atau Barat yang dahulu tidak ada atau belum terkenal. Lalu sekarang tiba-tiba ada. Ini bisa berupa kata utuh semisal "bias" dan "dispute" atau akhiran baru semisal "bel-bel" itu.

Kelas algojo dasamuka adalah kosakata Inggris yang digelundungkan begitu saja ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Bukan cuma satu atau dua kosakata, bahkan satu kalimat atau satu paragraf sekalian. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi kosakata, kalimat, dan paragraf bahasa Indonesia. Genit macam inilah sejatinya yang membuat bahasa Indonesia kian lama kian amburadul, kian terbunuh, kian terbantai-bantai!

*Harus menderita*
Agaknya, bahasa Indonesia memang harus menderita sebab wajib belajar terus, atau binasa! Jalan salib penderitaan harus ia tempuh. Khususnya saat bergaul dengan aneka rupa kosakata asing. Agar sampai pada kebangkitan kebahasaan yang indah mulia.

Suatu masa ia pernah kikuk di hadapan kosakata Belanda, di kota-kota. Kosakata Arab sejak dahulu jaya di desa-desa dan kini makin meriah, percaya diri melewati jalan-jalan bebas hambatan dan memasuki gedung-gedung bertingkat. Kosakata India, saya kurang paham, di Bali mungkin bisa dirasakan. Kosakata Latin, ini suasana khusus di salah satu sudut di Ledalero, Kentungan, Pineleng, Abepura, Pematang Siantar dan sebangsanya - di seminari-seminari. Semuanya ini masih perlu uraian lebih luas, yang di luar kemampuan catatan kecil ini. Ia hanya mengupas kosakata Inggris atau berbau Inggris, dan terbatas mempersoalkan kegenitan Inggris-Inggrisan.

*Empat keinginan*
Meski mungkin membuat uring-uringan kaum "genit Inggris-Inggrisan", catatan kecil ini sejatinya bernyali amat kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, pengikut kaum tersebut sudah telanjur amat kuat perkasa dan meluas di seluruh Indonesia. Kaum itu telah memenuhi desa-desa, kota-kota, toko-toko kelontong, kantor resmi, pemukiman kumuh dan apalagi pemukiman mewah, meja-meja persuratkabaran, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan tentu saja di semua gedung lembaga tinggi negara. Karena itu, catatan kecil ini cuma mampu mengusung empat keinginan.

Pertama, ingin berterus terang.

Kedua, ingin melontarkan tanggapan yang membangun.

Ketiga, ingin mengimbau, agar tiap manusia Indonesia yang dewasa tanpa pandang bulu lebih bersikap wajar dalam berbahasa Indonesia dan menghormati bahasa Indonesia.

Keempat, ingin memperkenalkan "iman" yang mengakui bahwa gemar menggunakan kosakata-kosakata asing secara tidak perlu di dalam berbahasa Indonesia adalah perbuatan tercela yang merusak bahasa Indonesia.

Ya, kolom ini masih punya utang. Masih harus melunasi janji menyusun contoh-contoh nyata kosakata Nusantara di hadapan kosakata genit Inggris-Inggrisan. Kami sajikan di bagian mendatang, sebagai penutup rangkaian urusan yang bersambung ini.

 

Kau akan ngepos secara anonim! Boleh2 aja sih, bahkan tulis nama dan sembarang paswod pun boleh. Tapi kalo mau daftar, klik daftar

Nama Pwd gp jsp (mpat lapan)+(dua nol)= +img +coret

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|