Kopasan dari sumber lain. Hak cipta (kalau ada) milik sumber

No 2-871 Semua (balik urutan) |

yuku@arsip : 2008-01-23 03:14:51 UTC+0000
Berebut Warisan
Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0801/15/utama/4160577.htm

Rubrik ini edisi 27 Mei 2006 berjudul "Maaf, Pak Harto". Saya mempertanyakan pemberitaan seputar sakitnya Pak Harto yang, maaf, absurd.

Absurditas pertama, kondisi kesehatan pasien yang mestinya rahasia malah diumbar-umbar. Pak Harto memang milik publik, tetapi ngana ya ngana ning aja ngana-lah.

Hati trenyuh menyaksikan tayangan yang memperlihatkan tubuh dan wajah Pak Harto dalam kondisi mengenaskan di-close up saat dipindahkan perawat. Apa itu perlu?

Televisi di sini suka menayangkan wajah dan kondisi tubuh korban terorisme, baik yang tewas maupun yang cedera. Di Inggris tak satu televisi pun menayangkan gambar korban setelah teroris mengebom subway dan bus di London.

Pers Amerika Serikat memberitakan "mantan Presiden Ronald Reagan yang telah lama dirawat karena menderita parkinson kini dalam kondisi kritis". Demi alasan kemanusiaan, media tak menayangkan fisik dan wajah Reagan.

Kondisi Pak Harto yang labil diungkapkan pers dengan bertalu-talu, mendetail, live, dan berembel-embel breaking news. Jangan salah, pemeo bad news is good news boleh-boleh saja dalam era persaingan ketat industri pers.

Berkat hiruk-pikuk peliputan itu, banyak yang lupa soal-soal yang lebih substantif, seperti kelangkaan minyak tanah dan elpiji atau protes pembuat tahu dan tempe.

Ada baiknya dokter memperlakukan informasi penyakit Pak Harto dengan prinsip need to know basis saja. Sampaikan saja informasi yang bersifat umum karena audiens toh enggak ngerti istilah-istilah kesehatan yang rumit.

Absurditas kedua, sejumlah kalangan berlomba bicara tentang jasa dan dosa Pak Harto serta permintaan maaf bagi dirinya. Ia jelas berjasa bagi republik sejak era perjuangan sampai jadi presiden.

Ia angkat senjata melawan Belanda dan Jepang, menumpas berbagai pemberontakan, dan berperan penting setelah peristiwa G30S. Tanda jasa yang diperoleh Pak Harto bertumpuk-tumpuk.

Ia Bapak Pembangunan, Bapak ASEAN, dan merebut berbagai penghargaan internasional. Makanya ganjil jika masih saja ada yang berusaha meyakinkan publik bahwa Pak Harto berjasa.

Lebih ganjil lagi mereka yang mohon maaf atas nama Pak Harto. Padahal Pak Harto—bukan mereka—yang mesti menanggung beban penyidikan korupsi yang dituduhkan pengadilan sesuai Ketetapan MPR XI/MPR/1998.

Banyak yang enggak ngerti juga kok ada pihak-pihak yang berbicara soal win-win solution atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam istilah ABG sekarang, "Ada udang di balik bakwan ya?"

Lagi pula kurang layak berbicara tentang kasus korupsi Pak Harto yang sedang diopname. Lebih baik tangkap dan adili dulu koruptor-koruptor yang suka pura-pura diopname.

Dan yang superganjil mereka yang bersikap playing God alias merasa lebih tahu daripada Yang di Atas. Mereka mengatakan, "Lupakanlah dosa-dosa Pak Harto."

Sebagian besar rakyat tak peduli Pak Harto berdosa atau tidak. Apa yang dikerjakan orang kuat Orde Baru yang berkuasa selama sekitar 32 tahun itu tak berpengaruh banyak terhadap mereka.

Saya tanya PRT di rumah yang umurnya baru 20 tahunan, "Menurut kamu Pak Harto dosa enggak?" Dia menjawab, "Wah, saya enggak tahu, Pak."

Anda mendapat jawaban yang sama kalau bertanya kepada petani di Gunung Kidul, nelayan di Tomohon, atau penjual mi instan di Danau Toba. Namun, kalau bertanya kepada keluarga korban kekerasan Orde Baru sejak 1965, ceritanya pasti lain.

Dua absurditas terjadi karena sistem politik yang didominasi eksekutif yang bercorak feodalistis. Para pendukung Pak Harto terbentuk jadi grup penghamba yang mempraktikkan budaya kultus individu.

Wajar mereka jadi Soehartois sejati karena memetik keuntungan politik, ekonomi, dan budaya dari Pak Harto. Dalam istilah Jawa, pejah gesang ndérék Pak Harto.

Ambil contoh bagaimana mereka menelan bulat-bulat bahasa politik Pak Harto. Di zaman Orde Baru semua pejabat pusat dan daerah suka mengucapkan sebuah kata sakti: "daripada".

Pak Harto mengucapkan kata itu karena dari sononya emang udah gitu akibat pengaruh bahasa Belanda. Kata "daripada" yang keluar dari mulut Pak Harto ibarat jeda (dalam bahasa Inggris "of the") sebelum ia meloncat ke susunan kata yang lain.

Namun, para pejabat itu sekadar mau mirip Pak Harto walau tahu itu melanggar tata bahasa. Begitu Pak Harto lengser ing keprabon, tak ada lagi pejabat yang suka mengucapkan kata "daripada".

Dan absurditas mereka sesungguhnya menyinggung perasaan kelompok yang jumlahnya juga banyak, yakni pendukung Bung Karno. Kelompok ini belum lupa perlakuan mereka terhadap Proklamator di saat terakhir kekuasaannya.

Bung Karno dikurung, tak disembuhkan penyakitnya, dan dilarang menemui keluarganya. Saat ayahnya diasingkan ke Bogor dan Bu Fat dijaga ketat di Jalan Sriwijaya, anak-anak Bung Karno diberikan waktu cuma seminggu untuk keluar dari Istana.

Bukan berarti mereka ingin balas dendam. Jangan-jangan mereka bersikap "kami sudah memaafkan, tetapi tak bisa melupakan".

Jadi, wahai kaum Soehartois, biasa-biasa aja deh. Orang Inggris bilang, "Act normal."

Jangan kayak anak-anak yang tak ditinggali wasiat dari sang ayah yang lagi gering. Itulah anak-anak manja yang tawuran karena berebut warisan yang nilainya tak ada.
yuku@yuku : 2008-01-23 03:15:15 UTC+0000
Banyak berita tentang keadaan kesehatan Pak Harto.
Namun ada 1 artikel menarik, melihat dari sudut pandang lain.
>>[arsip/2]
http://kompas.com/kompas-cetak/0801/15/utama/4160577.htm
Rin@arsip : 2008-01-23 12:08:59 UTC+0000
diacu: >>4 >>9 >>10
>>2
Apa itu, "ngana ya ngana ning aja ngana-lah"??

Apa itu "trenyuh"? Apa itu "pemeo"?
Kalau "trenyuh" dan "pameo" pernah denger (walau ga tau artinya).

Kenapa pakai kata "audiens", apa kasus "enggak ngerti istilah-istilah ... yang rumit," tidak berlaku juga di sini?
yuku@arsip : 2008-02-02 10:33:24 UTC+0000
>>3
Walah, direpli di sini, mana tau..
Kalo ga salah trenyuh itu artinya hati hancur.
Audiens itu pemirsa bukan sih?
Jadi inget ada yang terjemahin "prestasi" jadi "prestation" :D
1peH@arsip : 2008-02-02 12:41:03 UTC+0000
diacu: >>10
>>3
Itu yang betul, "ngono ya ngono ning aja ngono" yang berarti "begitu ya begitu tapi janganlah begitu."

Mungkin maksudnya pameo, yang artinya slogan atau pepatah.

Kalau yang "pejah gesang ndérék Pak Harto." sudah mengertikah?
Rin@arsip : 2008-02-02 14:33:41 UTC+0000
diacu: >>11
>>3
Dibalas di sini karena tulisannya adanya di sini....
Oo, artinya itu. Tapi aneh juga, aku kira bahasa di Indonesia ga ad yg punya "tr", jadi kirain "terenyuh".

>>5
"Keprigelan" tuh apa lagi? :S
Ko aneh juga ada "pr"....

>>9
Oo, begitu. Cari di kamus ga ketemu sih, jadinya bingung.
Kalau terakhir itu sebenarnya ga ngerti, tapi pakai trik yang dipelajari waktu persiapan TOEFL, yaitu kalau suatu bagian wacana pada dasarnya sama dengan bagian lain (misalnya: parafrasenya atau sinonimnya), maka bisa ditebak. Jadi sebenarnya ga ngerti itu, tapi karena itu hanya menyampaikan kalimat sebelumnya dalam bahasa Jawa, ya masih bisa diterima dan tidak perlu sampai diacuhkan. Kalau yang lain-lainnya itu kan jadi bagian inti tanpa ada sinonim.
1peH@arsip : 2008-02-02 16:38:04 UTC+0000
diacu: >>12
>>10
Bukannya bahasa Indonesia memang ada "pr" yah, seperti "prasasti" dan "prestasi".
"prigel" sendiri artinya kira2 pandai, kata ini berasal dari bahasa Jawa. Saya juga kaget kok tiba2 memakai istilah ini.

Trenyuh itu artinya seperti prihatin atau iba gitu. Ini juga dari bahasa Jawa.

Yang "pejah gesang ndérék Pak Harto." artinya "hidup mati ikut Pak Harto"
Rin@arsip : 2008-02-03 14:21:19 UTC+0000
>>11
Hm... benar juga ya ada kata2 itu. Tentunya bisa juga dikatakan bahwa itu kata2 yang asalnya dari bahasa Sansekerta, tapi saya tidak mau menentang karena toh itu tandanya bunyi itu sudah diterima. Inget sih ada kata "proklamasi", tapi itu kan dari bahasa Latin, tapi yah pokoknya diterima deh.
Jadi sekarang masalahnya adalah: tulisan tersebut terlalu banyak berisi kata2 bahasa Jawa, yang tidak semua orang tahu dan kalaupun mau tahu tidak bisa dicari di kamus, jadi *sangatlah bermasalah* dan *tidak seharusnya dilakukan*.
>_<

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|