entah

No 297-316 No 277-296 Semua (balik urutan) |

Rin@Rin : 2009-09-19 11:21:13 UTC+0000
diacu: >>298 >>299
Karena keterbatasan waktu, maka jenis yang kedua, "Kata2 yang berlebih karena tidak menambah arti" belum dipaparkan.

Menjawab >>296, kalimat2 tersebut memang berlebih, tapi merupakan contoh dari jenis yang kedua.

Topik ini agak "susah" karena ad yang mengatakan *harus dihindari* ada pula yang menentang.
Contoh di >>271 muncul dalam apa yang namanya "style guide" dan katanya, sih "poor style". Mereka menentang penggunaannya.
Aku sendiri bingung sebaiknya yang mana, jadi tidak memihak. Lain dengan jenis pertama yang menurutku harus dihindari.

Jenis kedua ini yaitu menggunakan kata-kata yang kalau dihilangkan pun artinya tidak berubah.

Lalu, apa yang susah?

Dalam bahasa Inggris, fenomena ini disebut dengan "redundancy". Karena mungkin ada yang tidak paham, maka saya jelaskan ini dulu.
Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata ini berarti "berlebihan, kemewahan, kelimpahan", tapi arti ini, walau mungkin benar, cukup berbeda dengan penggunaannya dalam bidang teknis. Redundancy dalam satu rancangan maksudnya adalah rancangan itu menggunakan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Contoh:
1. Bangunan hanya perlu 6 pilar, tapi dibangun dengan 8 pilar.
2. Hard Disk cukup perlu 1 untuk menyimpan data, tapi pakai 2.
3. Pesawat terbang cukup perlu 2 mesin tapi ada 4 (tergantung pesawatnya).
Perlu ditekankan bahwa dalam bidang teknis, sekedar menambahkan *bukan* redundancy yang bagus, apalagi kalau misalnya hanya membawa, seperti misalnya mobil membawa 1 roda tambahan (yang ini sekedar "cadangan").

Redundancy adalah bagian dari rancangan, jadi merupakan sesuatu yang dipikirkan.

Apa gunanya? Kegunaannya pada dasarnya sama semua, yaitu agar rancangan secara keseluruhan masih dapat melaksanakan tugasnya. Mungkin saja tidak sebagus saat semuanya ada, tapi setidaknya tidak langsung gagal total. Jadi ada faktor keamanan di sini.

Tentu saja, menambangkan komponen artinya biaya lebih banyak. Di sinilah polemiknya: pilih biaya atau pilih aman?

Balik ke tentang bahasa. Menambahkan kata2 yang mempunyai artinya bisa berguna untuk memperjelas. Mungkin inilah alasan terkuat bagi yang pro. Di sisi lain, biaya menambah kata sebenarnya tidak banyak, tapi mungkin dianggap bodoh. Mungkin sebenarnya ini adalah usaha dari orang2 yang lebih pintar untuk membedakan diri mereka dari orang2 "biasa".

- Rin
Rin@Rin : 2009-09-19 11:25:53 UTC+0000
diacu: >>299
>>297
Contoh tambahan:
dianggap berlebih karena pernyataan "A or B" tetap benar walaupun keduanya benar. Lain kalau kalimatnya adalah "either A or B"; yang ini harus pilih 1.
Banyak dipakai dalam hukum.
Rin@Rin : 2009-09-19 11:45:02 UTC+0000
diacu: >>301
>>297
>>298

Satu lagi yang membuat penolakan terhadap redundancy dalam bahasa berat adalah karena berbagai bahasa dalam tata bahasanya sendiri memiliki redundancy. Ada yang banyak ada yang sedikit, mungkin ada juga yang tidak punya (entah).
Contohnya:
1. Dalam bahasa Indonesia, kata kerja dalam kalimat aktif harus diberi awalan "me-", padahal untuk membedakan cukup dari keberadaan awalan "di". Mungkin karena ini maka dalam bahasa sehari-hari awalannya hilang (walau perubahan bunyi masih tetap).
2. Dalam bahasa Inggris, "to be" ada 3 jenis, "am", "is", "are". Toh sebenarnya tidak perlu karena salah satu dari "I am" sudahlah cukup.
3.
Rin@Rin : 2009-09-19 11:54:11 UTC+0000
Menyebut judi (di >>[imambenjol/147]) jadi terpikir:

Orang bisnis sering bilang tentang "(high|low) (risk|gain)". Ku masih bingung, yang diukur dengan "high/low" itu peluangnya, nilainya, peluang * nilai, ataukah yang lebih buruk dari antara peluang dan nilai?.
yuku@Rin : 2009-09-19 12:04:36 UTC+0000
diacu: >>302
>>299
1. (set lingkup kata kerja = kata kerja yang bisa dikasi me-)
Bukankah secara teori (kadang prakteknya lain), {kata kerja yang tidak diberi me-} dan
{kata kerja dengan awalan di-} keduanya pasif? Hanya yang {kata kerja dengan awalan me-}
yang aktif.

Seperti: Saya menyapu lantai -> aktif
Lantai disapu saya -> pasif
Lantai saya sapu -> pasif
saya sapu lantai -> pasif juga, cuma urutannya dibalik

3. Dalam bahasa inggris,  "3 bola" disebut "3 balls". Toh sebenarnya tidak perlu "balls" cukup
"ball" karena kalau "3" sudah pasti jamak.
Rin@Rin : 2009-09-19 15:50:02 UTC+0000
>>301
Sepertinya definisimu akan:
kalimat aktif: subyek dulu baru obyek
kalimat pasif: obyek dulu baru subyek

Dulu diajarkannya memang begitu sih.

Kontraindikasinya sudah ada di contohmu yang ketiga. Secara umum, adalah wajar kalimat aktif subyeknya belakangan. Ada bahasa tertentu yang polanya malah OPS, Obyek Predikat Subyek.
Sebenarnya aku bisa lebih panjang di sini, tapi mari lanjut saja. :)

Sebenarnya sih, pelajaran bahasa Indonesia itu tidak sesuai dengan definisi linguistic internasional. Dalam kalimat pasif bahasa Indonesia (juga Inggris dll), polanya tetap SP, Subyek-Predikat. Penentu keaktifan bukanlah pada urutan komponen kalimat, tapi pada keberadaan "pelaku" (actor).

Ada beberapa hal yang jadi bahan pertimbangan, jadi mungkin dijelaskan dulu saja.

I.
Tergantung bahasa, ada kata2 yang sifatnya "optional" = tidak perlu disebut. Tapi ketidakadaannya dalam kalimat bukan jadi berarti bahwa kata itu tidak ada, hanya tidak disebut saja.

II.
Yang biasanya orang bilang "subyek" seringkali sebenarnya trinitas, memegang 3 jabatan sekaligus, yakni: subyek, topik, pelaku (actor).
Bedanya?
Subyek: sesuatu yang menempel langsung pada predikat. Kalau kata kerja ibarat punya "socket", ini salah satu yang harus ada.
Topik: dalam deretan kalimat (kalau tertulis merupakan 1 paragraf), seringkali ini kata pertama dalam paragraf. Biasanya tidak diulang lagi untuk kalimat selanjutnya tapi tetap berlaku.
Aktor: pelaku kegiatan yang disebut oleh kata kerja.

III.
Nah, jadi apa bedanya aktif dan pasif? Bedanya adalah fokus "arah" kegiatan (tidak menemukan kata yang lebih bagus).
Aktif menjelaskan bahwa sesuatu melakukan suatu kegiatan sedangkan pasif sesuatu menerima suatu kegiatan.

Ngomong apa lagi ya? Eh, perasaan pernah ngomong....

Further reading:
http://indonesian.kejut.com/Intermediate_Lesson_1

(apaan coba)


yg nomor 3 tuh asalnya rencana tulis tp kayanya lupa dan tidak terhapus. :(
Rin@Rin : 2009-09-22 04:02:07 UTC+0000
diacu: >>304 >>305
Banyak orang mengatakan bahwa dirinya adalah *hamba* Tuhan.
Tapi hamba tidak tahu apa yang dilakukan tuannya.
Mengapakah aku harus mendengarkan orang-orang yang tidak paham?
imambenjol@Rin : 2009-09-22 04:31:41 UTC+0000
diacu: >>306
>>303
jadilah *hamba* juga supaya anda lebih baik dari si itu. mungkin ketika anda sudah jadi *hamba*, ada orang lain juga yang mengatakan hal yang sama "Mengapakah aku harus mendengarkan orang-orang yang tidak paham?"

gp
yuku@Rin : 2009-09-22 04:54:00 UTC+0000
diacu: >>307
>>303
"Tapi hamba tidak tahu apa yang dilakukan tuannya.", kenapa?

Kapankah hamba tidak tahu apa yang dilakukan tuannya?

C-, |)
Rin@Rin : 2009-09-22 08:44:45 UTC+0000
diacu: >>308
>>304
Tidak paham. Mengapa kalau jadi sesama orang yang tidak mengerti maka jadi lebih baik?
Rin@Rin : 2009-09-22 08:47:16 UTC+0000
diacu: >>309
>>305
"Kenapa," katamu? Tanyalah pada Yesus.
imambenjol@Rin : 2009-09-22 09:16:27 UTC+0000
>>306
karena si hamba itu tidak mengerti, mungkin kalau anda yang jadi hamba, anda lebih baik dari dia.

gp
yuku@Rin : 2009-09-22 09:31:48 UTC+0000
diacu: >>310
>>307
Maksudku, kenapa anda berkata "Tapi hamba tidak tahu apa yang dilakukan tuannya."?
Apakah memang hamba tidak tahu apa yang dilakukan tuannya?
Rin@Rin : 2009-09-22 09:43:34 UTC+0000
diacu: >>311
>>309
Lebih tepatnya aku hanya mengutip kata Yesus, jadi Yesus yang bilang. Karena itu tanyalah pada Yesus, atau pada orang2 yang bilangnya mengerti apa arti kata Yesus.
andreas@Rin : 2009-09-23 02:25:03 UTC+0000
diacu: >>312
>>310
kutipan Yoh 15:15 kah?
Rin@Rin : 2009-09-23 03:43:04 UTC+0000
diacu: >>313
>>311
Iya.
Sebenarnya pertanyaannya ada 2, yg explisit itu ya seperti tertulis (eh, itu "pertanyaan" loh, bukan "ujian" atau "tebak-tebakan"). Yang implisitnya yaitu apakah ada yang langsung tau aku ngomongin apa dari pertanyaannya tanpa menyebut sumber kutipan atau petunjuk lainnya. Kelihatannya tidak.... :(
andreas@Rin : 2009-09-23 04:16:44 UTC+0000
diacu: >>314
>>312
jawab yang implisit dulu yah :P, ku samar2 sih pernah inget ada di Alkitab yah, tapi takut di gigit kalo salah jadi ku diam dan tunggu perkembangan selanjutnya :p.

yang explisit biar kupikir2 dulu. eh iya kalo soal mu tanya ato tebakan sih uda tau tanya :P.
Rin@Rin : 2009-09-23 06:49:51 UTC+0000
diacu: >>315
>>313
Bolehlah orang bilang penggunaannya zaman sekarang hanyalah istilah. Tapi sebenarnya ada lagi yang implisit (tp bukan pertanyaan).

Sedikit2 ku tidak suka dengan para... em... hamba ini. Mereka banyak meributkan kata-kata tertulisnya. Yah, ibarat orang yang tidak paham tuannya. Mereka meributkan bahwa "kata-katanya begini maka pasti maksudnya begitu", lalu bilang bahwa bagian A dengan B tidak nyambung, tidak konsisten.
Mengapakah?

Misalnya ada yang meributkan "babi" dengan "babi hutan". Meributkan bahwa makan barang tertentu itu terlarang. Kalau buku bilang A maka artinya A.

Tidak ada bedanya dengan masyarakat dengan hukum negaranya. Tidak ada bedanya dengan kebanyakan karyawan yang mengikut saja apa kata bosnya.

Ya, memang hanya hamba. Tidak paham.

Atau mungkin anak-anak?

Seperti misal PRT kalau dimarahin majikan: "Ko ini makanan bisa busuk begini?" "Ya, ibu tadi bilangnya XYZ."

"Bilangnya begini" "Bilangnya begitu"
yuku@Rin : 2009-09-23 11:23:28 UTC+0000
diacu: >>317
>>314
> Ya, memang hanya hamba. Tidak paham.
Kalau yang paham, akan seperti apakah bilangnya?
Bagaimana anda paham bahwa mereka tidak paham?
Rin@Rin : 2009-09-24 04:13:49 UTC+0000
diacu: >>318
Dulu kata "homosexual" itu digunakan untuk misal: "sekolah satu jenis kelamin".
Sekarang berubah.... :(

 

Kau akan ngepos secara anonim! Boleh2 aja sih, bahkan tulis nama dan sembarang paswod pun boleh. Tapi kalo mau daftar, klik daftar

Nama Pwd gp jsp (dua nol)+(tiga lima)= +img +coret

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|