entah

No 295-302 No 275-294 Semua (balik urutan) |

Rin@Rin : 2009-09-17 12:11:38 UTC+0000
diacu: >>296
Sebelum ini saya telah memaparkan 2 contoh "kelebihan kata". Kedua contoh tersebut mewakili 2 jenis "kelebihan kata".
1. Kata2 yang berlebih karena tidak pada tempatnya
2. Kata2 yang berlebih karena tidak menambah arti
Untuk kali ini saya akan memaparkan jenis yang pertama saja.

Catatan: kata2 yang saya sebut sebagai contoh *sebenarnya*[1] tidak salah, hanya dalam penggunaannya sering salah.

Jenis yang pertama memiliki 2 dampak:
1. tidak menambah nilai apapun
2. menambah sesuatu yang justru bertentangan dengan sisa kalimatnya.

Penggunaan kata "actually" biasanya tidak menambah apapun karena tidak ada sesuatu yang dibandingkan baik tersurat maupun tersirat; tidak ada maksud apapun yang tersembunyi. Contoh lain yang juga sering seperti ini adalah "basically".
Misal:
<sambil menunjuk gambar pohon>
EN: "Basically this is a tree"
ID: "Pada dasarnya ini pohon"

Ya, sudah cukup jelas bahwa itu pohon....

Contoh dari yang justru bertentangan misalnya: "kan".
"Kemarin kan aku ketemu si Anu."

Apa yang salah? Yang salah adalah "kan" berguna untuk memastikan bahwa pendengar sudah tahu fakta tersebut, tapi kalimat itu adalah kalimat pengenalan yang tujuannya adalah memberi informasi baru.
Jadi ada konflik antara kalimat yang bertujuan memberi informasi baru dengan penggunaan kata yang bertujuan memastikan bahwa pendengar sudah tahu.

[1] Kata "sebenarnya" di sini dipakai sebagai kontras kalau2 orang mengira bahwa kata tersebut salah, jadi penggunaannya adalah menunjukkan bahwa itu tidak salah.
andreas@Rin : 2009-09-18 05:59:15 UTC+0000
diacu: >>297
>>295
kalo
- naik ke atas
- turun ke bawah
- maju ke depan
- mundur ke belakang

apakah kelebihan kata juga?
Rin@Rin : 2009-09-19 11:21:13 UTC+0000
diacu: >>298 >>299
Karena keterbatasan waktu, maka jenis yang kedua, "Kata2 yang berlebih karena tidak menambah arti" belum dipaparkan.

Menjawab >>296, kalimat2 tersebut memang berlebih, tapi merupakan contoh dari jenis yang kedua.

Topik ini agak "susah" karena ad yang mengatakan *harus dihindari* ada pula yang menentang.
Contoh di >>271 muncul dalam apa yang namanya "style guide" dan katanya, sih "poor style". Mereka menentang penggunaannya.
Aku sendiri bingung sebaiknya yang mana, jadi tidak memihak. Lain dengan jenis pertama yang menurutku harus dihindari.

Jenis kedua ini yaitu menggunakan kata-kata yang kalau dihilangkan pun artinya tidak berubah.

Lalu, apa yang susah?

Dalam bahasa Inggris, fenomena ini disebut dengan "redundancy". Karena mungkin ada yang tidak paham, maka saya jelaskan ini dulu.
Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata ini berarti "berlebihan, kemewahan, kelimpahan", tapi arti ini, walau mungkin benar, cukup berbeda dengan penggunaannya dalam bidang teknis. Redundancy dalam satu rancangan maksudnya adalah rancangan itu menggunakan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Contoh:
1. Bangunan hanya perlu 6 pilar, tapi dibangun dengan 8 pilar.
2. Hard Disk cukup perlu 1 untuk menyimpan data, tapi pakai 2.
3. Pesawat terbang cukup perlu 2 mesin tapi ada 4 (tergantung pesawatnya).
Perlu ditekankan bahwa dalam bidang teknis, sekedar menambahkan *bukan* redundancy yang bagus, apalagi kalau misalnya hanya membawa, seperti misalnya mobil membawa 1 roda tambahan (yang ini sekedar "cadangan").

Redundancy adalah bagian dari rancangan, jadi merupakan sesuatu yang dipikirkan.

Apa gunanya? Kegunaannya pada dasarnya sama semua, yaitu agar rancangan secara keseluruhan masih dapat melaksanakan tugasnya. Mungkin saja tidak sebagus saat semuanya ada, tapi setidaknya tidak langsung gagal total. Jadi ada faktor keamanan di sini.

Tentu saja, menambangkan komponen artinya biaya lebih banyak. Di sinilah polemiknya: pilih biaya atau pilih aman?

Balik ke tentang bahasa. Menambahkan kata2 yang mempunyai artinya bisa berguna untuk memperjelas. Mungkin inilah alasan terkuat bagi yang pro. Di sisi lain, biaya menambah kata sebenarnya tidak banyak, tapi mungkin dianggap bodoh. Mungkin sebenarnya ini adalah usaha dari orang2 yang lebih pintar untuk membedakan diri mereka dari orang2 "biasa".

- Rin
Rin@Rin : 2009-09-19 11:25:53 UTC+0000
diacu: >>299
>>297
Contoh tambahan:
dianggap berlebih karena pernyataan "A or B" tetap benar walaupun keduanya benar. Lain kalau kalimatnya adalah "either A or B"; yang ini harus pilih 1.
Banyak dipakai dalam hukum.
Rin@Rin : 2009-09-19 11:45:02 UTC+0000
diacu: >>301
>>297
>>298

Satu lagi yang membuat penolakan terhadap redundancy dalam bahasa berat adalah karena berbagai bahasa dalam tata bahasanya sendiri memiliki redundancy. Ada yang banyak ada yang sedikit, mungkin ada juga yang tidak punya (entah).
Contohnya:
1. Dalam bahasa Indonesia, kata kerja dalam kalimat aktif harus diberi awalan "me-", padahal untuk membedakan cukup dari keberadaan awalan "di". Mungkin karena ini maka dalam bahasa sehari-hari awalannya hilang (walau perubahan bunyi masih tetap).
2. Dalam bahasa Inggris, "to be" ada 3 jenis, "am", "is", "are". Toh sebenarnya tidak perlu karena salah satu dari "I am" sudahlah cukup.
3.
yuku@Rin : 2009-09-19 12:04:36 UTC+0000
diacu: >>302
>>299
1. (set lingkup kata kerja = kata kerja yang bisa dikasi me-)
Bukankah secara teori (kadang prakteknya lain), {kata kerja yang tidak diberi me-} dan
{kata kerja dengan awalan di-} keduanya pasif? Hanya yang {kata kerja dengan awalan me-}
yang aktif.

Seperti: Saya menyapu lantai -> aktif
Lantai disapu saya -> pasif
Lantai saya sapu -> pasif
saya sapu lantai -> pasif juga, cuma urutannya dibalik

3. Dalam bahasa inggris,  "3 bola" disebut "3 balls". Toh sebenarnya tidak perlu "balls" cukup
"ball" karena kalau "3" sudah pasti jamak.
Rin@Rin : 2009-09-19 15:50:02 UTC+0000
>>301
Sepertinya definisimu akan:
kalimat aktif: subyek dulu baru obyek
kalimat pasif: obyek dulu baru subyek

Dulu diajarkannya memang begitu sih.

Kontraindikasinya sudah ada di contohmu yang ketiga. Secara umum, adalah wajar kalimat aktif subyeknya belakangan. Ada bahasa tertentu yang polanya malah OPS, Obyek Predikat Subyek.
Sebenarnya aku bisa lebih panjang di sini, tapi mari lanjut saja. :)

Sebenarnya sih, pelajaran bahasa Indonesia itu tidak sesuai dengan definisi linguistic internasional. Dalam kalimat pasif bahasa Indonesia (juga Inggris dll), polanya tetap SP, Subyek-Predikat. Penentu keaktifan bukanlah pada urutan komponen kalimat, tapi pada keberadaan "pelaku" (actor).

Ada beberapa hal yang jadi bahan pertimbangan, jadi mungkin dijelaskan dulu saja.

I.
Tergantung bahasa, ada kata2 yang sifatnya "optional" = tidak perlu disebut. Tapi ketidakadaannya dalam kalimat bukan jadi berarti bahwa kata itu tidak ada, hanya tidak disebut saja.

II.
Yang biasanya orang bilang "subyek" seringkali sebenarnya trinitas, memegang 3 jabatan sekaligus, yakni: subyek, topik, pelaku (actor).
Bedanya?
Subyek: sesuatu yang menempel langsung pada predikat. Kalau kata kerja ibarat punya "socket", ini salah satu yang harus ada.
Topik: dalam deretan kalimat (kalau tertulis merupakan 1 paragraf), seringkali ini kata pertama dalam paragraf. Biasanya tidak diulang lagi untuk kalimat selanjutnya tapi tetap berlaku.
Aktor: pelaku kegiatan yang disebut oleh kata kerja.

III.
Nah, jadi apa bedanya aktif dan pasif? Bedanya adalah fokus "arah" kegiatan (tidak menemukan kata yang lebih bagus).
Aktif menjelaskan bahwa sesuatu melakukan suatu kegiatan sedangkan pasif sesuatu menerima suatu kegiatan.

Ngomong apa lagi ya? Eh, perasaan pernah ngomong....

Further reading:
http://indonesian.kejut.com/Intermediate_Lesson_1

(apaan coba)


yg nomor 3 tuh asalnya rencana tulis tp kayanya lupa dan tidak terhapus. :(

 

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|

|