yuku@
yuku
: 2014-04-27 06:05:49 UTC+0000
Seorang raja mendapat satu pemikiran, yaitu kalo dia selalu tau waktu yang tepat
untuk memulai segalanya, jika dia tau siapa orang2 yang tepat untuk dia dengar,
dan siapa yang perlu dia hindari, dan lebih dari segalanya, jika dia selalu tau hal
apa yang paling penting untuk dia kerjakan, dia tidak akan pernah gagal dalam
segala yang dia kerjakan.
Pemikiran ini timbullah pada dia, sehingga dia mengumumkan kepada seluruh
kerajaannya, bahwa dia akan memberi haidah besar pada siapa pun yang bisa
ngajarin dia manakah waktu yang tepat untuk segala tindakan, siapa orang yang
paling penting, dan gimana caranya dia tau hal apa yang paling penting untuk
dikerjakan.
Maka cendikiawan2 datang kepada Raja, tapi mereka menjawab dengan jawaban
yang berbeda2.
Sebagai jawaban pertanyaan pertama, ada yang menjawab, untuk mengetahui
waktu yang tepat untuk setiap tindakan, seseorang harus menuliskan terlebih
dahulu tabel hari2, bulan2, dan tahun2, dan kemudian hidup secara ketat
menurut tabel itu. Hanya dengan begitu, katanya, segala sesuatu dapat dikerjakan
dalam waktu yang tepat. Orang2 lain mengatakan tidaklah mungkin menentukan
sebelumnya waktu yang tepat bagi setiap tindakan; namun, yang penting adalah
tidak membiarkan diri hidup dalam kemalasan, selalu siap menghadapi apa yang
terjadi saat itu, dan melakukan apa yang paling diperlukan. Yang lain bilang,
seberapa perhatiannya pun sang Raja kepada yang sedang terjadi saat itu, tidak
mungkin satu orang dapat mengambil keputusan dengan tepat waktu yang benar
untuk segala tindakan, karena itu harus ada Dewan orang2 bijak, yang membantu
dia menentukan waktu yang tepat bagi segala sesuatu.
Namun kemudian orang2 lain berkata ada beberapa hal yang tidak mungkin
menunggu keputusan Dewan, tapi harus dengan segera ditentukan apakah akan
dijalankan atau tidak. Tapi untuk memutuskan itu, seseorang harus tau
sebelumnya apa yang akan terjadi. Dan hanya peramal yang bisa melakukan itu;
karena itu, untuk mengetahui waktu yang tepat untuk segala tindakan, hendaklah
menghubungi peramal.
Sama saja bervariasinya jawaban atas pertanyaan kedua. Ada yang bilang, orang2
yang paling dibutuhkan Raja adalah para penasihat; ada yang bilang para imam,
ada yang bilang para dokter, ada juga yang bilang tentaralah yang paling dibutuhkan.
Terhadap pertanyaan ketiga, mengenai pekerjaan apakah yang paling penting
untuk dilakukan: ada yang jawab hal paling penting sedunia adalah ilmu
pengetahuan. Ada yang jawab keahlian dalam perang; dan ada yang jawab
penyembahan agamawi lah yang paling penting.
Karena semua jawaban berbeda2, Raja tidak setuju dengan satu pun, dan tidak
memberikan hadiah kepada siapa pun. Namun karena Raja masih ingin menemukan
jawaban atas pertanyaan2nya, dia memutuskan menghubungi seorang petapa, yang
terkenal akan kebijaksanaannya.
Petapa itu hidup di dalam hutan yang tidak pernah dia tinggalkan, dan dia hanya
menerima rakyat biasa. Maka Raja mengenakan baju sederhana, dan sebelum
sampai ke rumah petapa, Raja turun dari kudanya, meninggalkan pengawalnya di
belakang, dan berjalan sendirian.
Ketika Raja semakin dekat, petapa itu sedang menggali tanah di depan gubuknya.
Melihat Raja, petapa itu menyapanya dan kemudian lanjut menggali tanah. Petapa
itu lemah tubuhnya, dan setiap kali dia memukulkan sekopnya ke lahan dan
memutarbalikkan sedikit tanah, dia mendesah berat.
Raja maju kepadanya dan berkata, "Aku datang kepadamu, petapa bijak, untuk
meminta engkau menjawab 3 pertanyaan: Gimana cara aku belajar melakukan hal
yang tepat pada waktu yang tepat? Siapa orang yang paling kuperlukan dan kepada
siapa aku seharusnya memberi perhatian lebih daripada yang lain? Dan, hal apakah
yang paling penting dan paling perlu untuk kuberikan perhatian utama?"
Petapa mendengarkan Raja, tapi tidak menjawab apa2. Dia hanya sedikit menepuk
tangannya dan melanjutkan penggaliannya.
"Engkau cape," kata Raja, "Mari kuambil sekopmu dan aku akan bekerja sebentar
untuk engkau."
"Terima kasih!" kata petapa, dia memberikan sekopnya pada Raja dan duduk di
lantai.
Setelah Raja menggali 2 petak, dia berhenti dan mengulang pertanyaannya.
Petapa lagi2 tidak memberikan jawaban apapun, melainkan dia bangkit,
mengulurkan tangannya untuk meminta sekop itu, dan berkata:
"Sekarang kamu istirahatlah -- biarkan saya bekerja sedikit lagi."
Namun Raja tidak memberikan sekop itu kembali, dan terus menggali. Satu jam
berlalu, dan satu jam berlalu lagi. Matahari mulai turun di balik pohon2, dan
Raja akhirnya menanamkan sekop itu ke tanah dan berkata:
"Aku datang kepada engkau, hai bijak, untuk menerima jawaban atas pertanyaanku.
Jika engkau tidak bisa memberi jawaban, katakanlah kepadaku, maka aku akan
pulang."
"Ada orang yang berlari ke sini," kata petapa, "mari lihat siapa itu."
Raja berpaling dan melihat seorang yang berjanggut lebat lari keluar dari hutan.
Tangannya menekan perutnya, di bawah tangannya darah mengalir deras. Ketika
dia sampai pada Raja, dia jatuh pingsan di tanah sambil melenguh lemah. Raja
dan petapa melonggarkan pakaiannya. Ada luka besar pada perutnya. Raja
mencucinya sebisa mungkin, dan membalutnya dengan sapu tangannya dan
dengan handuk sang petapa. Namun darah tidak berhenti mengalir keluar, dan
Raja berulang kali melepas balutan yang penuh darah hangat, mencucinya dan
membalut luka itu lagi. Ketika akhirnya darah berhenti mengalir, orang itu
tersadar dan meminta minum. Raja mengambil air bersih dan memberikannya
kepadanya. Sementara itu matahari sudah terbenam, dan cuaca menjadi sejuk.
Maka Raja, dengan bantuan petapa, membawa masuk orang yang terluka itu ke
dalam gubuk dan membaringkannya di kasur. Setelah terbaring orang itu
menutup matanya dan menjadi tenang; tapi Raja sangat kecapean karena
perjalanan dan segala pekerjaan yang dia lakukan, sehingga dia duduk di
undakan dan tertidur -- nyenyak sekali hingga dia tertidur sepanjang malam
yang pendek musim panas itu. Ketika dia terbangun pagi harinya, butuh
cukup lama baginya untuk mengingat di mana dia, dan siapa orang berjanggut
yang terbaring di kasur sambil menatap tajam2 kepada Raja dengan mata yang
berkilauan.
"Ampuni saya!" kata orang berjanggut itu dengan suara lemah, ketika dia melihat
Raja sudah bangun dan melihatnya.
"Aku tidak kenal siapa kamu, dan tidak ada yang perlu saya ampuni," kata Raja.
"Engkau tidak kenal aku, tapi aku kenal engkau. Aku adalah musuhmu yang
bersumpah untuk membalas dendam kepadamu, karena engkau membunuh
saudaraku dan menjarah kepunyaannya. Aku tau engkau pergi sendirian untuk
datang kepada petapa, dan aku berikhtiar untuk membunuh engkau ketika
engkau berjalan pulang. Namun siang berlalu dan engkau ternyata tidak pulang.
Maka aku keluar dari tempat persembunyianku untuk mencari engkau, dan aku
berpapasan dengan pengawal2mu, dan mereka mengenal aku, lalu mereka melukai
aku. Aku berhasil lolos dari mereka, tapi aku nyaris mati kalau saja engkau tidak
menyembuhkan lukaku. Sekarang, kalau aku hidup, dan jika engkau
memperbolehkan aku hidup, aku akan mengabdi kepada engkau sebagai
budakmu yang paling setia, dan anak2ku akan kubuat melakukan hal yang
sama. Ampuni saya!"
Raja sangat bersukacita karena dia dapat dengan mudah berdamai dengan
musuhnya, dan mendapatkan dia sebagai teman, dan Raja tidak hanya
mengampuni dia, namun mengirimkan dia kepada dokter kerajaan agar dia
dirawat, dan berjanji akan mengembalikan kepunyaannya.
Setelah orang yang terluka itu pergi, Raja berjalan ke halaman gubuk untuk
bertemu dengan sang petapa. Sebelum meninggalkan tempat itu, dia memohon
sekali lagi untuk menerima jawaban dari pertanyaan2 yang sudah dia berikan.
Petapa itu sedang berlutut di luar, menabur benih di lahan yang sudah dia gali
kemarinnya.
Raja menghampiri dia dan berkata:
"Untuk terakhir kalinya, aku mohon engkau menjawab pertanyaanku, hai bijak."
"Engkau sudah dijawab!" kata petapa itu sambil tetap berjongkok pada kakinya
yang kurus, sambil menengadah melihat Raja yang berdiri di depannya.
"Bagaimana sudah dijawab? Apa maksudmu?" tanya Raja.
"Tidakkah kau lihat?" jawab petapa. "Kalau engkau tidak mengasihani kelemahanku
kemarin, dan tidak menggali lahan ini untukku, melainkan pulang saja, maka
orang itu akan sudah menyerangmu, dan engkau akan menyesal karena tidak
tinggal bersamaku. Jadi, saat yang paling penting adalah ketika engkau menggali
lahan; dan aku adalah orang yang paling penting; dan untuk melakukan kebaikan
kepada aku adalah tindakan yang paling penting. Kemudian, ketika orang itu lari
ke arah kita, waktu yang paling penting adalah ketika engkau merawat dia, karena
kalau engkau tidak membalut luka2nya, dia akan mati tanpa berdamai denganmu.
Jadi dia adalah orang yang terpenting, dan apa yang kau lakukan terhadapnya
adalah tindakan yang terpenting. Maka ingatlah: hanya ada satu saat yang
penting – Sekarang! Itulah saat yang paling penting karena hanya atas saat
itulah kita berkuasa. Orang yang paling penting adalah orang yang bersamanya
engkau berada, karena tidak ada orang yang tahu apakah dia akan pernah
berhadapan dengan orang lainnya: dan perkara terpenting adalah, melakukan
kebaikan terhadapnya, karena hanya demi tujuan itulah manusia dikirim ke
dalam kehidupan ini!"