>>1
Ralat deh.
Aku akan coba melihat suatu film dengan lebih objektif.
Baru-baru ini, temenku ada yang minta copy beberapa film drku. Ceritanya dia suka banget sm film terakhir yang kurekomen buat ditonton. Akhirnya dia copy tuh beberapa film dr HD. Salah satunya film A. Film A ini memang kl dilihat trailernya sangat menarik, bukan krn cerita tapi krn teknik pembuatannya. Cuma setelah nonton, aku sendiri tidak gitu suka, tapi menurutku dari segi tema film itu cukup menarik, dan keseluruhan aku masih bisa bilang film itu okay (meskipun aku ga gitu suka). Selang beberapa hari, temenku itupun komen, intinya "Itu filmnya kok tyt jelek ya, aneh, ga ngerti". Aku pun komen, "ya memang aneh sih, tapi aku ga bisa bilang jelek sih soalnya begini begini, dan sebenernya tentang ini dan ini". Lalu dia bilang, "hah masa sih, aku ga nyadar lo, soalnya udah terlanjur ga suka. Jadi biarpun penasaran, nontonnya udah ga enak."
Yup, kelewatan karena udah ga suka duluan dengan suasana dan keanehannya. Sayang juga sih kl terlewat.
Selera memang subjektif. Bisa ngerasain emosi atau ga juga subjektif. Relatable dengan pengalaman diri atau ga juga subjektif. Memberi skor bintang2 pada suatu film itu subjektif.
Orang yang pernah merasakan kehilangan akan jauh lebih sedih waktu nonton film bertema kehilangan ketimbang mereka yang ga pernah merasakan kehilangan.
Tapi tiap film serandom apapun kisahnya mesti ada nilai atau pesan yang mau disampein si pembuat, sekecil dan sesederhana apapun itu. Dan itu sepertinya memang harus dilihat dgn objektif dulu. Setuju atau ga setuju dengan nilai atau pesan tsb itu urusan akhir, harusnya jangan keburu negatif dulu. Bukankah kita sedang melihat sebuah kisah dari sebuah jendela?