>>29
Kalau dipikir sekilas sih, sepertinya ada 2 aturan: serap kata benda dan serap kata sifat.
Secara umum yang diserap itu kata benda, tapi kalau kata itu tidak langsung punya kata kerja maka yang diserap kata sifatnya. Kata2 yang diserapnya lebih dulu kelihatannya lebih memenuhi aturan ini.
Contoh:
ada yang bilang harusnya, "memproklamirkan," tapi lebih umum orang bilangnya, "memproklamasikan" karena kata dasarnya adalah kata benda,
*proklamasi*, walau dalam bahasa aslinya adalah kata kerja.
juga "substitusi" jadi "mensubstitusikan", bukan "mensubstitut".
jadi ya memang harusnya
*menceleng*, bukan
*mencelenjing*, selain itu kalau "menceleng" entar bisa salah baca jadi
*melenceng* atau ada yang bingung apa hubungannya dengan
*celeng*, jadi ya jauh lebih baik jadikan
*menantang* saja.
Bahasa Indonesia itu sudah terlalu ambruadul ga karuan, tingkat mutasinya terlalu tinggi, dan seperti saya pernah bilang, kebanyakan orang Indonesia lebih bangga merusak bahasanya dibanding membenarkannya....
Sepertinya aturan tadi juga berlaku di bahasa Jepang, kata yang tidak punya kata kerjanya diserap dalam bentuk kata sifat, contoh:
*wandafuru na*, padahal
*wonderful* berasal dari kata benda
*wonder*.